PINJAMAN DENGAN
JAMINAN (RAHN)
Makalah Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata
kuliah
“Fiqh Mu’amalah”
Disusun Oleh:
1. Tri Joko
P
210609056
2. Tafratussaniyati
210609026
Dosen Pengampu
Amin Wahyudi, M. Ag, M. Si.
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PGMI
KONSENTRASI “Fiqh”
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu lembaga keuangan yang dapat
memberikan pinjaman pada masyarakat ialah Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian,
apabila masyarakat ingin mendapatkan pinjaman maka masyarakat harus memberikan
jaminan barang kepada perum pegadaian. Melihat perkembangan ekonomi Islam maka
perum pegadaianpun mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan
pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki
karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba,
menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan,
dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil.
Pegadaian syariah dikenal dengan istilah “rahn”.[1]
Gadai yang kita kenal selama ini di Indonesia
identik dengan Perum Pegadaian, dengan motonya “Menyelesaikan Masalah Tanpa
Masalah” sebagai satu-satunya perusahaan yang mengusahakannya. Dulu,
pegadaian sering disamakan dengan kesusahan dan berhubungan dengan masyarakat
golongan ekonomi lemah, sehingga kebanyakan orang malu untuk datang kepegadaian.
Sekarang kondisinya sudah lain, pegadaian tumbuh menjadi sarana untuk mendapat
dana bagi semua golongan masyarakat, dari petani sampai pengusaha berdasi.
Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman
sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina),
barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape, video), kendaraan (sepeda, motor,
mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil
(kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Hakekat / pengertian rahn ?
2.
Bagaimana sifat rahn ?
3.
Apa yang mendasari diadakannya rahn ?
4.
Apa rukun dan syarat gadai?
5.
Bagaimana cara mengambil manfaat gadai dan implementasi pada bank syari’ah ?
BAB II
PEMBAHASAN
PINJAMAN DENGAN JAMINAN (RAHN)
A.
Pengertian
Menurut bahasa, gadai (al-rahn) berarti al-stubut
dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah tengkurung atau terjerat.[2]
Menurut istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1. Akad
yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran
dengan sempurna darinya
2. Menjadikan
harta sebagai jaminan utang
3. Gadai
ialah menjadikan harta benda sebagai suatu jaminan atas utang
4. Gadai
adalah suatu barang yang dijadikan npeneguhan atau penguat kepercayaan dalam
utang-piutang.
5. Gadai
ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan uang, dengan adnya benda yang menjadi tanggungan iitu seluruh atau
sebagian utang dapat diterima.
Ulama fiqih
berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :[3]
1. Menurut
ulama Syafi’iyah:
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang
yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang
2. Menurut
ulama Hanabilah:
Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai
pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu
membayar) utangnya kepada pemberi pinjaman.
B.
Sifat Rahn
Secara umum
rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan
penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan
sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas
barang yang digadaikan .
Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila
sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam,
titipan dan qirad.[4]
C.
Dasar Hukum Rahn
Sebagai referensi atau landasan hukum
pinjam-meminjam dengan jaminan (brog) adalah firman Alloh Swt.[5]
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا
فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah
secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh berpiutang). Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa
kepada Alloh Tuhanny ( Al-Baqarah 283)
Diriwatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu
Majah dari Anas r.a berkata:
عَنْ أَنَسٍ –
رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم – دِرْعًا
لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا ، ى
“ Rasullah Saw, telah meruguhkan baju
besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair
(gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari,
Nasai, dan Ibnu Majah)
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa bermualah
dibenarkan juga dengan Non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga
tidak ada kekhawatiran bagi yang memberi piutang.
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian
gadai hukumnya mubah (boleh). Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu
gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di
anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan
ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti
nyang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan
dalam hadist di atas.
Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, yang mendasari rahn.
D.
Rukun dan Syarat Gadai
Gadai atau
pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu:
1.
Akad dan ijab Kabul
2.
Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin).
Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan
harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah
orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak
disyaratkan harus baligh.[6]
3. Barang
yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah
keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul
bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang
gadai”
Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun (brog),
antara lain:[7]
1. Dapat diperjual beliakan
2. Bermanfaat
3. Jelas
4. Milik rahin
5. Bisa diserahkan
6.
Tidak bersatu dengan harta lain
7. Dipegang
oleh rahin
8. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
9. Ada
utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
Menurut Sayyid
Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu:[8]
1.
Orangnya sudah dewasa.
2. Berpikiran
sehat.
3. Barang
yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian
itu dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.
Barang atau
benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda
bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat
rumah)
E.
Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam
pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat,
diantara jumhur fuqoha dan ahmad.
Jumhur fuqoha
berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat brang-barang
gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada
utang yang terdapat ,menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersbada:
“Setiap orang
yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi Usamah)
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan
al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau
binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil
manfaat dari kedua benda tersebutdisesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang
dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanya. Jika barang gagai
butuh biaya, misalnya: hewan tunggangan dan budak (sebagai mana dalam as-sunah)
maka:
·
Jik dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang
tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
·
Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh
menggunakan menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia
keluarkan, tidak boleh lebih.[9]
Rasul bersabda:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ
الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ
نَفَقَتُهُ
“ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena
pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambilk susunya untuk
diminum karena pembiyayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan
meminumnya wajib memberikan biaya”.
Pengambilan
manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan pada biaya atau tenaga untuk
pemeliharaan sehingga bagi yang memgang barang-barang gadai seperti di atas
punya kewajiban tambahan? Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan
bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikian bensin bila pemegang
barang gadaian berupa kendaraan.
Menurut hemat
penulis, barang jaminan seprti sawah atau lading hendaknya diolah supaya tidak
mubdirmengenai hasilnya dapat dibagi antara pemilik dan penggadai atas
kesepakatan bersama. Ada hal yang sangat penting yang perlu diingat bahwa
hasilnya tidak boleh menjadi sepenuhnya pegadai seperti yang berlaku dalam masyarakat
dan praktek semacam inilah yang diupayakan supaya lurus dan sejalan dengan
ajaran islam.[10]
F.
Risiko Kerusakan Marhun
Bila marhun
hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya,
kecuali bila rusakatau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena
disia-siakan. Umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang
gadaiannya itu, atau gudang tidak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri
orang. Murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak
demikian, bila ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, mennjadi tanggung jawab
murtahin.
G.
Penyelasaian Gadai
Untuk menjaga agar tidak ada pihak yang
dirugikan, tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalnya ketika akad gadai
diucapkan: “ Apabila rahin tidak mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang
telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembyaran hutang”,
sebab ada yang memungkinkan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk
membayar hutang harga marhun akan lebih kecil dari pada utang rahin yang harus
dibayar yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan
juga harga marhun pada waktu pembayaran yang ditentukan akan lebih jumlahnya daripada
utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan rahin.
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar
utangnya, hak murtahin ialah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin
sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang jumum berlaku pada waktu itu
dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanya sebesar piutangnya, dengan
akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya
dikembalikan pada rahin dan sebaliknya, apabila harga penjualan marhun kurang
dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.
H. Riba
dan Gadai
Perjanjian
gadai pada dasanya adalah [erjanjian utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada
jaminannya. Riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan
bahwa rahin haus memberikab tambahab kepada murtahinketika membyar utangnya
atau ketika akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut
dilaksanakan
Bila rahin
tidak mampu memabay utangnya hingga wwaktu yang telah ditentukan, kemudian
rahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelbihan harga mahunkepada rahin.
I.
Implementasi
operasi Pegadaian Syariah
Implementasi operasi
Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti
halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman
dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah
sangat sederhana,
Di samping beberapa
kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik
transaksi, dan pendanaan. Pegadaian Syariah memilki
ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian
konvensional
Dari landasan Syariah
tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai
berikut: Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian
Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh
Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya
biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan
dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian
mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua
belah pihak.
Pegadaian Syariah akan
memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan
berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di
sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’
yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian.
Untuk dapat memperoleh
layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta
geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai
dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai
taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan
perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang
dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan
harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman
yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan
ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan:
1. Jangka waktu penyimpanan barang
dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.
2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan
sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh rupiah ) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,-
per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
3. Membayar
biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan
uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini
diberikan kelonggaran untuk :
·
Melakukan penebusan
barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan
· Mengangsur uang pinjaman
dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea
administrasi
atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu
jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak
mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian
melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai
penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan
yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk
mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak
mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan
kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
Aspek syariah tidak hanya
menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi
nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba.
Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian
disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak
ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan
kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan
melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal
kerja, jadi sesuai dengan motto pegadaian adalah mengatasi masalah tanta
masalah bisa di buktikan.[11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut kelompok kami rahn
adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan
pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”, Pengambilan manfaat pada
barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan ditekankan pada biaya atau
tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai
seperti diatas punya kewajiban tambahan, pemegang barang gadai berkewajiban
memberikan makanan bila barang gadaian itu berupa hewan dan harus memberikan
bensin apabila barang tersebut berupa kendaraan. Apabila pada waktu pembayaran telah ditentukan
rahin belum membayar hutangnya hak murtahin adalah menjual marhun.pembeline bisa
murtahin sendiri atau oranglain tetapi dengan harga yang umum berlaku pada
waktu itu. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya dengan akibat apabila harga
penjualan marhum lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada
rahin, dan sebliknya harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin
masih menanggung pembayaran kekurangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi
Fiqih Muamalah, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, hal105-106
Rahmat Syafei,
Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, hal 159-160
Muhammad
Syafi’i Antonio. 1997. Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam
Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi UI.
http://stephanie-insideof.blogspot.com/2012/02/aplikasi-rahn-gadai-dalam-lembaga.html.
http://kanzulaminuddin.blogspot.com/2010/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, hal105-106
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, hal 159-160
Ali
Hasan, Berbagai Transaksi dan Fiqih( Fiqih Muamalat) PT Raja Gravindo Jakarta,
Hal 254-255
http://stephanie-insideof.blogspot.com/2012/02/aplikasi-rahn-gadai-dalam-lembaga.html