Kamis, 14 Juni 2012

SYIRKAH





1.      Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya. 
Menurut terminologi, syirkah atau pengkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
2.      Landasan Syirkah
Landasan Syirkah (perseroan) terdapat dalam Al-Qur’an, Al-Hadist, dan ijma’, berikut ini :
a.       Al- Qur’an
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ

Artinya : “Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka yang berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh amat sedikitlah mereka ini” 
b.      As-Sunah
Legalitas perkongsian pun diperkuat, ketika nabi diutus, masyarakat sedang melakukan perkongsian. Beliau bersabda :

يد الله على الشر يكين مالم  يخاونا

Artinya : “Kekuasaan Allah senantiasa berada pada dua orang yang bersekutu selama keduanya tidak berkhianat”
c.       Al-Ijma’
Umat Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.
3.      Pembagian Perkongsian
a.       Perkongsian Amlak
Perkongsian Amlak adalah dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad. Perkongsian ini ada dua macam : 
1.      Perkongsian sukarela (ikhtiar)
Perkongsian Ikhtiar adalah perkongsian yang muncul karena adanya kontrak dari dua orang yang bersekutu. Contohnya dua orang membeli atau member atau berwasiat tentang sesuatu dan keduanya menerima, maka jadilah pembeli, yang diberi, dan yang diberi wasiat bersekutu diantara keduanya, yakni perkongsian milik.
2.      Perkongsian paksaan (ijbar)
Perkongsian ijbar adalah perkongsian yang ditetapkan kepada dua orang atau Iebih yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya, seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka yang diberi waris menjadi sekutu mereka.
b.      Perkongsian Uqud
Secara umum, fuciaha Mesir, yang kebanyakan bermadzhab Syafi'i dan Maliki, berpendapat bahwa perkongsian terbagi atas empat macam, yaitu:
a.       Perkongsian ‘inan adalah persekutuan antar dua orang dalam harta milik untuk berdagang secara bersama-sama dan membagi laba atau kerugian bersama-sama.
b.      Perkongsian mufawidhah adalah transaksi antara dua orang atau lebih untuk berserikat dengan syarat memiliki kesamaan dalam jumlah modal, persatuan keuntungan , pebgolahan serta agama yang dianut.
c.       Perkongsian abdan adalah persekutuan dua orang untuk menerima suatu pekerjaan dengan akan dikerjkn secara bersama-sama.
d.      Perkongsian wujuh asalah bersekutunya dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa modal atau membeli barang secara tidak kontan, kemudian keuntungan yang diperoleh dibagi antara mereka dengan syarat tertentu.
4.      Sifat Akad Perkongsian dan Kewenangan
a.       Hukum kepastian (Luzum) Syirkah
Kebanyakan ulama figih berpendapat bahwa akad syirkah dibolehkan, tetapi tidak lazim.Oleh karena itu, salah seorang yang bersekutu dibolehkan membatalkan akad atas sepengetahuan rekannya untuk menghindari kemadaratan.
b.      Kewenangan Syarik (yang Berserikat)
Para ahli fiqih sepakat bahwa kewenangan syarik perkongsian adalah amanah, seperti dalam titipan, karena memegang atau menyerahkan harta atas izin rekannya.
5.      Hal yang membatalkan Syirkah
Perkara yang membatalkan syirkah terbagi atas dua hal. Ada perkara yang membatalkan syirkah secara umum dan ada pula yang membatalkan sebagian yang lainnya.
1.    Pembatalan Syirkah Secara Umum
a.    Pembatalan dari salah seorang yang bersekutu
b.    Meninggalnya salah seorang syarik.
c.    Salah seorang syarik murtad atau membelot ketika perang
d.   Gila  
2.    Pembatalan Secara Khusus Sebagian Syirkah
a.       Harta Syirkah Rusak
Apabila harta syirkah rusak seluruhnya atau harta salah seorang rusak sebelum dibelanjakan, perkongsian batal. Hal ini terjadi pada syirkah amwal. Alasannya, yang menjadi barang transaksi adalah harta maka, kalau rusak, akad menjadi batal sebagaimana terjadi pada transaksi jual-beli.
b.      Tidak Ada Kesamaan Modal
Apabila tidak ada kesamaan modal dalam syirkah mufawidhah pada awal transaksi, perkongsian batal sebab hal itu merupakan syarat transaksi mufawidhah.
6.      Syirkah Rusak Menurut Ulama Hanafiyah
1.      Bersekutu dalam Pekerjaan yang Mudah
Kepemilikan ditetapkan bagi masing-masing dengan cara mengambil dan menguasai yang mubah, kemudian dilihat:
a.       Jika keduanya mengambil semuanya secara bersama-sama, maka pembagiannya adalah setengah untuk masing-masing.
b.      Jika pengambilannya dilakukan masing-masing, yang diambil merupakan milik priadi masing-masing.
c.       Jika masing-masing mengambil harta secara terpisah, kemudian mencampurkan dan menjualnya, harga basil penjualan tersebut dibagi berdasarkan pendapatan masing-masing atau berdasarkan nilainya.
d.      Jika salah seorang bekerja kemudian yang lain ikut membantu, masing-masing mendapat upah yang sesuai dengan pekerjaannya, misalnya seorang mencabut atau mengumpulkan, sedangkan yang lainnya membawanya.
2.      Bersekutu pada Dua Binatang yn Berbeda
3.      Binatang yang disewakan

MUDHARABAH

Perjanjian bagi Hasil
1.      Pengertian
Mudharabah menurut bahasa berarti memutus, sedangkan menurut saya’ mudharabah adalah suatu adap penyerah harta yang dilakukan oleh pemiliknya kepada seseorang untuk memperdagangkan hanya tersebut dan keuntungan dibagi berdua
2.      Rukun dan syarat perjanjian bagi hasil
Bagi hasil dilakukan dengan didahului perjanjian sehingga iapun harus menenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun bagi hasil adalah harus ada para puhak (obyek hukum) obyek tertentu ijab dan qabul melalui pengucapan lafad. Adapun syarat bagi hasil ada 4 diantaranya :
a.       Mudharabah itu sendiri harus berupa uang (dirham dan dinar) yang murni
b.      Pemilik modal memberikan ijin kepada pihak pihak yang memperdagangkanya untuk mengolah secara mutlak, maka tidak boleh bagi si malik mempersempit pengeluaran dalam mentasarrufkan
c.       Harus ada janji dari si Malik kepada amil berupa bagian keuntungan yang dapat diketahui seperti setengah dari keuntunganya atau sepertiganya.
3.      Dasar Hukum
Dasar Hukum mengenai diperbolehkannya perjanjian bagi basil teradapat dalam al-Quran dan Hadis Nabi. Di dalam al-Quran menge­nai kebolehan mengadakan perjanjian bagi hasil ini terdapat dalam surat al-Muzamil ayat (20) yang artinya adalah sebagai berikut:
"Dan yang lain lagi, mereka bepergian di inuka bumi untuk mecari karunia dari Allah”
Kemudian dalam hukum positif, sebagaimana yang telah dise­butkan di atas, bagi hasil khususnya atas tanah pertanian diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960. Dalam Penjelasan Umum poin ketiga undang-undang ini menyebutkan bahwa:
a.    agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dila­kukan atas dasar yang adil.
b.    Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu ber­ada dalam kedudukan yang tidak kuat. yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
c.    Dengan terciptanya kondisi a dan b, maka akan menambah kegem­biraan para petani."
4.      Para Pihak dalam Perjanjian Bag Hasil
Pihak malik tidak memperkirakan akad mudharabah dalam suatu masa yang telah maklum
Dalam perjanjian bagi hasil terdapat pihak-pihak yang satu dan lainnya masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Adapun me­ngenai pihak-pihak ini penulis kategorikan menjadi dua macam, yaitu pihak dalam perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian dan pihak dalam perjanjian bagi hasil dalam dunia perbankan.
a.         Pihak-pihak dalam perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian
Dalam hal yang menjadi obyek perjanjiannya adalah bagi hasil atas tanah pertanian, maka terdapat dua pihak dengan hak dan kewa­jiban masing-masing pihak adalah sebagai berikut :
1.      Pihak Pemilik Lahan Pertanian
Ia adalah pihak yang memiliki lahan pertanian, yang karena satu dan lain hal tidak cukup waktu untuk menggarap tanah pertani­annya. Padahal terdapat laranngan menelantarkan tanah, seba­gaimana yang telah disebutkan dalam UUPA 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh karena itu, tanah harus dimanfaatkan secara produktif.
2.      Pihak Penggarap
Ia adalah pihak yang mempunyai cukup waktu luang, namun tidak memiliki cukup lahan pertanian. Oleh karena itu, ia kemu­dian akan menjalin perjanjian dengan pemilik lahan pertanian dengan tujuan mendapatkan pembagian hasil dari usahanya menggarap tanah pertanian
b.        Pihak-pihak dalam perjanjian bagi hasil dalam perbankan
1.      Pihak Pemilik Dana (Shahibul Maal)
Bank sebagai pemilik dana (shahibul maal) adalah pihak yang akan memberikan pembiayaan terhadap nasabah untuk digunakan dalam kegiatan produktif
2.      Pihak Pengelola Dana (Mudharib)
Ialah pihak yang membutuhkan suntikan dana guna men­jalankan kegiatan usahanya. Berdasarkan pada kondisi  basil sesuai dengan nisbah atau rasio yang disepakati kepada bank dan me­ngembalikar pinjaman dari bank secara angsuran, namun di sisi lain ia berhk atas pinjaman dana setelah perjanjian bagi hasil ditutup dan menggunakannya untuk kegiatan-kegiatan yang produktif.

Sabtu, 02 Juni 2012

PENGGADAIAN (RAHN)


PINJAMAN DENGAN JAMINAN (RAHN)
Makalah Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah
“Fiqh Mu’amalah”



                                                            


Disusun Oleh:

1.    Tri Joko P                      210609056
2.    Tafratussaniyati             210609026
                                                                                                           
Dosen Pengampu
Amin Wahyudi, M. Ag, M. Si.

JURUSAN TARBIYAH
PRODI PGMI
KONSENTRASI “Fiqh”
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO
2012

BAB I
                                                               PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Salah satu lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman pada masyarakat ialah Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, apabila masyarakat ingin mendapatkan pinjaman maka masyarakat harus memberikan jaminan barang kepada perum pegadaian. Melihat perkembangan ekonomi Islam maka perum pegadaianpun mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah dikenal dengan istilah “rahn”.[1]
Gadai yang kita kenal selama ini di Indonesia identik dengan Perum Pegadaian, dengan motonya “Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah” sebagai satu-satunya perusahaan yang mengusahakannya. Dulu, pegadaian sering disamakan dengan kesusahan dan berhubungan dengan masyarakat golongan ekonomi lemah, sehingga kebanyakan orang malu untuk datang kepegadaian. Sekarang kondisinya sudah lain, pegadaian tumbuh menjadi sarana untuk mendapat dana bagi semua golongan masyarakat, dari petani sampai pengusaha berdasi.
Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape, video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai.

B.     Rumusan Masalah                                                               
1.      Apa Hakekat / pengertian rahn ?
2.      Bagaimana sifat rahn ?
3.      Apa yang mendasari diadakannya rahn ?
4.      Apa rukun dan syarat gadai?
5.      Bagaimana cara mengambil manfaat gadai dan implementasi pada bank syari’ah ?

BAB II
PEMBAHASAN
PINJAMAN DENGAN JAMINAN (RAHN)
A.     Pengertian
Menurut bahasa, gadai (al-rahn) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah tengkurung atau terjerat.[2]
            Menurut istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1.    Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya
2.   Menjadikan harta sebagai jaminan utang
3.   Gadai ialah menjadikan harta benda sebagai suatu jaminan atas utang
4.   Gadai adalah suatu barang yang dijadikan npeneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang-piutang.
5.   Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan uang, dengan adnya benda yang menjadi tanggungan iitu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :[3]
1.   Menurut ulama Syafi’iyah:
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang
2.   Menurut ulama Hanabilah:
Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu membayar) utangnya kepada pemberi pinjaman.

B.     Sifat Rahn
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan .
      Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.[4]

C.     Dasar  Hukum Rahn
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan  (brog) adalah firman Alloh Swt.[5]

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Alloh Tuhanny ( Al-Baqarah 283)

Diriwatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا ، ى
 “ Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah)
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan Non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada kekhawatiran bagi yang memberi  piutang.
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti nyang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.
            Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, yang mendasari rahn.         
D.     Rukun dan Syarat Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu:
1.         Akad dan ijab Kabul
2.         Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.[6]
3.        Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”
Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun (brog), antara lain:[7] 
     1.   Dapat diperjual beliakan
     2.   Bermanfaat
    3.   Jelas
    4.   Milik rahin
    5.   Bisa diserahkan
    6.  Tidak bersatu dengan harta lain
    7.   Dipegang oleh rahin
    8.   Harta yang tetap atau dapat dipindahkan. 
    9.  Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.


Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu:[8]
1.    Orangnya sudah dewasa.
2.    Berpikiran sehat.
3.    Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu  dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.
Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah)

E.      Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqoha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat brang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat ,menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersbada:
“Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi Usamah)
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebutdisesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanya. Jika barang gagai butuh biaya, misalnya: hewan tunggangan dan budak (sebagai mana dalam as-sunah) maka:
·           Jik dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
·           Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.[9]
Rasul bersabda:

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

“ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambilk susunya untuk diminum karena pembiyayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memgang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban tambahan? Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikian bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan.
Menurut hemat penulis, barang jaminan seprti sawah atau lading hendaknya diolah supaya tidak mubdirmengenai hasilnya dapat dibagi antara pemilik dan penggadai atas kesepakatan bersama. Ada hal yang sangat penting yang perlu diingat bahwa hasilnya tidak boleh menjadi sepenuhnya pegadai seperti yang berlaku dalam masyarakat dan praktek semacam inilah yang diupayakan supaya lurus dan sejalan dengan ajaran islam.[10]
F.      Risiko Kerusakan Marhun
Bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusakatau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaiannya itu, atau gudang tidak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, bila ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, mennjadi tanggung jawab murtahin.
G.     Penyelasaian Gadai
Untuk menjaga agar tidak ada pihak yang dirugikan, tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalnya ketika akad gadai diucapkan: “ Apabila rahin tidak mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembyaran hutang”, sebab ada yang memungkinkan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar hutang harga marhun akan lebih kecil dari pada utang rahin yang harus dibayar yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang ditentukan akan lebih jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan rahin.
            Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak  murtahin ialah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang jumum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanya sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan pada rahin dan sebaliknya, apabila harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.
H.  Riba dan Gadai
Perjanjian gadai pada dasanya adalah [erjanjian utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin haus memberikab tambahab kepada murtahinketika membyar utangnya atau ketika akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan
Bila rahin tidak mampu memabay utangnya hingga wwaktu yang telah ditentukan, kemudian rahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelbihan harga mahunkepada rahin.
I.     Implementasi operasi Pegadaian Syariah
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana,
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan pendanaan. Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut: Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian. 
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan:
1.   Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.
2.  Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh rupiah ) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :
·           Melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan
·          Mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS. 
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja, jadi sesuai dengan motto pegadaian adalah mengatasi masalah tanta masalah bisa di buktikan.[11]



 

BAB III
PENUTUP
                                                                 Kesimpulan       
Menurut kelompok kami rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”, Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan, pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu berupa hewan dan harus memberikan bensin apabila barang tersebut berupa kendaraan. Apabila pada waktu pembayaran telah ditentukan rahin belum membayar hutangnya hak murtahin adalah menjual marhun.pembeline bisa murtahin sendiri atau oranglain tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya dengan akibat apabila harga penjualan marhum lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin, dan sebliknya harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya. 



DAFTAR PUSTAKA

Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, hal105-106
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, hal 159-160
 Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
http://stephanie-insideof.blogspot.com/2012/02/aplikasi-rahn-gadai-dalam-lembaga.html.

[1] http://kanzulaminuddin.blogspot.com/2010/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

[2] Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, hal105-106
[3] Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, hal 159-160
[4] Ibid 2, hal 160
[5] Ali Hasan, Berbagai Transaksi dan Fiqih( Fiqih Muamalat) PT Raja Gravindo Jakarta, Hal 254-255
[6] Ibid 2 hal 162
[7] Ibid 2 hal164
[8] Ibid 4 hal 256
[10] Ibid 4 hal258
[11] http://stephanie-insideof.blogspot.com/2012/02/aplikasi-rahn-gadai-dalam-lembaga.html