A.
Pengertian Al-Wakalah
Secara bahasa kata al-wakalah atau al-wakilah berati al-Tafwidh
(penyerahan, pendelegasian, dan pemberian mandat) seperti perkataan :
وكلت آ مري الي الله أ ى فو ضته اليه
Artinya :
“ Aku serahkan urusanku kepada
Allah “.
Secara terminologi (syara’) sebagaimana dikemukakan oleh fukaha :
I.
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
Akad penyerahan kekuasaan di mana pada akad itu
seseorang menunjuk orang lain sebagai gantinya untuk bertindak.
II.
Imam Taqy al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini
تفويض ما له فعله مما يقبل النيا بة الى غيره ليحفظه في حا
ل حيا ته
Artinya :
“ Menyerahkan suatu pekerjaan yang dapat digantikan kepada orang
lain agar dikelola dan dijaga pada masa hidupnya “.
Dari dua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wakalah
adalah sebuah transaksi di mana seseorang menunjuk orang lain untuk
menggantikan dalam mengejakan pekerjaannya/perkaranya ketika masih hidup.
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakkil)
itu dapat secara sah untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun,
karena satu dan lain hal urusan itu ia serahkan kepada orsng lain yang
dipandang mampu untuk menggantikannya. Oleh karena itu, jika seseoarng (muwakkil)
itu ialah orang yang tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang
gila atau anak kecil maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah
: seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali nikah
dalam pernikahan anak perempuannya. Contoh lain : seseorang terdakwa mewakilkan
urusan kepada pengacaranya.
B.
Landasan Hukum al-Wakalah
Islam menyariatkan wakalah karena manusia
membutuhkannya. Manusia tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannyasecara
pribadi. Ia membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak sebagai
wakilnya. Kegiatan wakalah ini telah dilakukan oleh orang terdahulu
seperti yang dikisahkan oleh al-qur’an tentang ashabul kahfi, di mana ada
seseorang di antara mereka diutus untuk mengecek keabsahan mata uang yang
mereka miliki ratusan athun di dalam gua.
Ijma ulama membolehkan wakalah karena wakalah
dipandang sebagai bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa yang
diperintahkan oleh Allah SWT. Dan Rasul-Nya.
Allah SWT, berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 2 :
وتعا ون علي البر والتقوى ولا تعا ونوا على الإ ثم
والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العقا ب (الما ئدة : ٢)
Artinya :
“ Dan tolong menolonglah kamu dalam hal mengerjakan
kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam mengerjakan dosa
dan permusuhan dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sanagat
pedih “. (QS :5 ayat 2).
Dalam hadis disebutkan :
والله في عون العبد ما كا ن العبد فى عون أ خيه
Artinya :
“ Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu
menolong saudaranya “.
Dalam hadis yang lain sebagaimana dijelaskan dalam kitab
fiqh sunnah bahwa wakalah bukan hanya diperintahkan oleh Nabi
tetapi Nabi sendiri telah melakukannya. Nabi pernah mawakilkan kepada Abu Rafi’
dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah. Rasulullah juga pernah
mewakilkan dalam membayar utang, dalam mengurus untanya.
C.
Rukun dan Syarat al-Wakalah
ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam wakalah :
1.
Ada ornag yang mewakilkan (muwakkil) syaratnya dia berstatus
sebagai pemilik urusan/benda yang menguasainya serta dapat bertindak terhadap
harta tersebut dengan dirinya sendiri. Jika muwakkil itu bukan
pemiliknya atau bukan orang orang yang ahli maka batal. Dalam hal ini, maka
naka kecil dan orang gila tidak sah menjadi muwakkil karena tidak
termasuk orang yang berhak untuk bertindak.
2.
Wakil (orang yang mewakili) syaratnya ialah orang berakal. Jika ia
idiot, gila, atau belum dewasa maka batal. Tapi menurut Hanafiah anak kecil
yang cerdas (dapat membedakan yang baik dan buruk) sah menjadi wakil alasannya
bahwa Amr bin Sayyidah Ummu Salamah mengawinkan ibunya kepada Rosulullah, saat
itu Amr masih kecil yang belum baligh. Orang yang sudah berstatus sebagai wakil
ia tidak boleh berwakil kepada orang lain kecuali seizin dari muwakkil pertama atau
karena terpaksa seperti pekerjaan yang diwakilkan terlalu banyak sehingga ia
tidak dapat mengerjakannya sendiri maka boleh berwakil kepada orang lain. Si
wakil tidak wajib untuk menanggung kerusakan barang yang diwakilkan kecuali
disengaja atau cara di luar batas.
3.
Muwakkil fih (sesuatu yang diwakilkan), syaratnya :
a.
Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang
lain. Oleh karena itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakan ibadah seperti
: shalat, puasa, dan membaca al-Qur’an.
b.
Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad
wakalah. Oleh karena itu, tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum
dimilkinya.
c.
Pekerjaan itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan
sesuatu yang masih samar seperti : “ Aku jadikan engkau sebagai wakilku
untuk mengawini salah satu anakku “.
d.
Shigat : shigat hendaknya berupa lafal yang menunujukkan arti “
mewakilkan “ yang diiringi kerelaan dari muwakkil seperti : “ saya
wakilkan atau serahkan pekerjaan ini kepada kamu untuk mengerjakan pekerjaan
ini “ kemudian diterima oleh wakil. Dalam shigat kabul si wakil
tidak disyaratkan artinya seandainya si wakil tidak mengucapkan qabul tetap
dianggap sah.
D.
Pekerjaan yang Dapat Diwakilkan
Pekerjaan yang boleh diwakilkan adalah semua pekerjaan
yang dapat diakadkan oleh dirinya sendiri, artinya secara hukumpekerjaan ini
dapat gugur jika digantikan. Contoh : mewakilkan orang lain untuk menjual
barang atau membeli, dan menjadi wali pernikahan. Adapun sesuatu yang tidak
dapat diwakilkan adalah pekerjaan yang tidak ada campur tangan perwakilan
artinya hukum ini tidak gugur jika digantikan oleh orang lainseperti ibadah
badiniyah karena dalam ibadah badaniyah ini tujuannya untuk menguji ketaatan
hamba, yang tidak dapat dicapai tujuan itu jika dilakukan oleh orang lain
seperti : shalat dan puasa.
E.
Berakhirnya al-Wakalah
Transaksi wakalah dinyatakan berakhir atau tidak
dapat dilanjutkan dikarenakan oleh salah satu sebab di bawah ini :
¶ Matinya salah seorang dari yang berakad.
¶ Bila salah satunya gila.
¶ Pekerjaan yang dimaksud dihentikan.
¶ Keluarnya orang yang mewakilkan (muwakkil) dari
status pemilikan.
¶ Wakil memutuskan sendiri. Menurut Hanafi tidak perlu muwakkil
mengetahuinya.
¶ Pemutusan oleh muwakkil terhadap wakil, meskipun
wakil tidak mengetahui (menurut Syafi’i dan Hambali), tetapi menurut Hanafi
wakil wajib tahu sebelum ia tahu maka tindakannya seperti sebelum ada
pemutusan.
F.
Hikmah Wakalah
Pada hakikatnya wakalah merupakan pemberian dan
pemeliharaan amanat. Oleh karena itu, baik muwakkil (orang yang
mewakilkan) dan wakil (orang yang mewakili) yang telah melakukan kerja
sama / kontrak wajib bagi keduanya untuk menjalankan hak dan kewajibannya,
saling percaya, dan menghilngkan sifat curiga dan berburuk sangka. Dari sisi
lain, dalam wakalah terdapat pembagian tugas, karena tidak semua orang
memiliki kesempatan untuk menjalankan pekerjaannya dengan diriya sendiri.
Dengan mewakilkan kepada orang lain, maka muncullah sikap saling tolong menolong dan memberikan pekerjaan bagi orang
yang sedang menganggur. Dengan demikian, simuwakkil akan terbantu dalam
menjalankan pekerjaannya di samping akan mendapat imbalan sewajarnya.
0 komentar:
Posting Komentar