Senin, 24 Desember 2012

FASAKH


BAB I
PENDAHULUAN
Ada berbagai bentuk pembubaran pernikahan. Islam. Sebagian besar bentuk yang diprakarsai oleh suami atau dengan saling persetujuan. Satu-satunya cara seorang istri dapat memperoleh perceraian tanpa persetujuan suami adalah melalui pengadilan terminasi yang disebut Fasakh. Bagaimanapun Islam juga telah memberi hak kepada isteri untuk membubarkan perkahwinannya melalui beberapa cara yaitu khul' ta'liq dan fasakhIni bermakna kedua-dua suami isteri diberi hak untuk membubarkan perkahwinan mereka melalui berbagai cara.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk membahas pembangunan khususnya ketika Fasakh digunakan untuk memecahkan masalah, ditinggalkan suami kekejaman dan penganiayaan.


BAB II
PEMBAHASAN


  A.    Pengertian Fasakh Nikah
Arti fasakh menurut bahasa ialah rusak atau putus. Fasakh berarti    memutuskan pernikahan, perkara ini hanya diputuskan apabila pihak isteri membuat pengaduan kepada Mahkamah dan hakim. Menurut pendapat yang lain fasakh adalah rusak atau putusnya perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri di sebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad berlangsung. misalnnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan. Fasakh disyariatkan dalam rangka menolak kemudaratan dan diperbolehkan bagi seorang istri yang sudah mukallaf atau baligh dan berakal.[1]
Suami memiliki hak menalak, sedangkan bagi pihak istri disediakan lembaga fasakh. Dengan demikian, keduanya memiliki hak yang sama dalam upaya menghapus atau mencabut suatu ikatan rumah tangga karena adanya penyebab tertentu yang dibenarkan menurut hukum.
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika akad berlangsung akad nikah atau hal-hal lain yang dating kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.[2]
1.      Fasakh ( batalnya perkawinan ) karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a.       Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
b.      Suami istri masih kecil, dan diadakan akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa dia berhak meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suamu istri, maka hal ini disebut fasakh bailgh.
2.       Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad.
a.       Bila dari salah satu suami istri murtad atau keluar dari agama islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadannya belakangan.
b.      Bila suami yang tadinya kafir maka masuk islam, tapi istri masih tetap dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain hal kalau istri orang ahli kitab, maka akadnya akan tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semuanya dipandang sah.

Pisahnya suami istri sebab fasakh berbeda dengan pisahnya karena talak. Sebab talak ada talak raj’i dan talak ba’in. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika, sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga. Adapun fasakh, baik yang terjadi belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, ia mengakhiri perkawinan seketika itu.
Pendapat lain mengatakan fasakh artinya merusak akad nikah bukan meninggalkannya. Pada hakikatnya fasakh ini lebih keras dari pada khulu’, dan ubahnya seperti melakukan khulu’ pula. Artinya dilakukan oleh piha perempuan disebabkan beberapa hal. Perbadaannya adalah, khulu’ diucapkan oleh suami sendiri, sedangkan fasakh diucapkan oleh qadi nikah setelah istri mengadu kepadanya dengan memulangkan maharnya kembali.[3]
B.     Hukum fasakh
Fasakh nikah di perbolehkan bagi seorang istri yang mukallaf (balligh dan berakal) kepada suaminya yang kesulitan harta atau pekerjaan yang halal, sebesar nafkah wajib ukuran minimal yaitu satu mud atau kesulitan memberikan pakaian wajib ukuran minimal yaitu pakaian utama yang harus dimiliki. Oleh karena itu fasakh tidak bisa dilakukan lantaran suami tidak bisa membelikan lauk pauk, meskipun makan tidak terasa enak.[4]
Suami sulit memberikan tempat tinggal atau tidak mampu membayar mahar secara kontan atau sebagian sebelum menjima’ istri. Dan fasakh tidak bisa dilakukan setelah istri dijima’, sebab barang yang di pertukarkan telah rusak dan barang yang dibuat menukar telah menjadi utang dalam tanggungan suami. Dan bagi istri yang masih kecil(belum baligh) walaupun sudah dijimak boleh memfasakh suaminya jika istri telah beranjak dewasa(baligh) sebab persetubuhan tersebut tidak dianggap terjadi menurut beberapa ulama’.Tapi jika istri telah menerima sebagian mahar, majka istri tidak boleh memfasakh.
Dan yang perlu diperhatikan, bahwa ketidakmampuan suami dalam memberi nafkah dapat dibuktikan jika tidak adanya harta suami dalam jangka waktu tiga hari.
Bagi seorang istri juga tidak boleh memfasakh nikah lantaran suami yang kaya atau cukup tidak mau memberikan nafkah, baik suami berada di rumah atau tidak ada asalkan kabar beritanya tidak terputus. Tapi jikalau kabar beritanya terputus dan suami tidak mempunyai harta yang ada di tempat maka istri boleh memfasakh nikah menurut madzhab yang diperlakukan oleh Ar-Rafi’I dan An-Nawawi, sedangkan menurut pendapat al-Maliki dan Ibnu Ziyadz istri boleh memfasakh jika tidak mendapat nafkah meskipun suami kaya, karena yang ditekankan dalam fasakh adalah jika terdapat madzarat terhadap istri.[5]
Fasakh lantaran suami tidak mampu memberi nafkah atau mahar, tidak sah dilakukan sebelum ditetapkan hal itu dengan ikrar suami atau bayinah yang menuturkan kemelaratan suami sekarang dan istri harus memenuhi syarat-syarat fasakh yang berlaku setelah itu qodhi atau muhakkam wajib menunda fasakh selama tiga hari. Kemudian, setelah masa tiga hari tiga malam, maka qodhi atau muhakkam pada pertengahan hari keempat boleh memfasakh nikah, atau setelah masa tiga hari dengan izin qodhi, istri dapat memfasak sendiri dengan ucapan”nikah ku fasakh”.
Tetapi syekh Athiyah Al-Maliki dalam fatwanya berkata: bila ada udzur pada qodzi atau tidak tidak bisa ditetapkan kemelaratan suami karena tidak adanya saksi, maka istri maka istri dapat memberikan persaksian tentang keberadaan fasakh nikah dan melaksanakan fasakh terhadap dirinya sendiri.
C.    Sebab-sebab terjadinya batalnya perkawinan ( fasakh )
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa penyebab fasakh diantaranya karena kemadzorotan yang menimpa istri seperti nafkah atau mahar.Tapi para ulama’ juga berpendapat bahwa apabila salah satu pihak dari suami istri terdapat suatu a’ib. Tapi apabila salah satu pihak sudah mengetahui ada ‘aib pada pihak lain sebelum ‘aqad nikah tetapi ia sudah rela secara tegas atau ada tanda yang menunjukan kerelaannya maka ia tidak mempunyai hak lagi untuk memintanya fasakh dengan alasan a’ib itu bagaimanapun.
Ada 8 (delapan) aib atau cacat yang membolehkan khiyar di antaranya:
1.      Tiga berada dalam keduanya (suami-istri) yaitu: gila, penyakit kusta dan supak.
2.      Dua terdapat dalam laki-laki yaitu: ‘unah (lemah tenaga persetubuhannya), impotent.
3.      Tiga lagi berasal dari perempuan yaitu: tumbuh tulang dalam lubang kemaluan yangmenghalangi persetubuhan, tumbuh kemaluan dan tumbuh daging dalam kemaluan, atau terlalu basah yang menyebabkan hilangnya kenikmatan persetubuhan.
Di samping itu fasakh juga bisa terjadi oleh sebab-sebab berikut.
1.      Perkawinan yang dilakukan oleh wali yang bukan jodohnya, seperti : budak dengan  orang merdeka, orang pezina dengan orang yang terpelihara.
2.      Suami tidak mampu memulangakan istrinya, dan tidak pula memberikan belanja sedangkan istrinya itu tidak rela.
3.      Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya yang diketahui oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya. Artinya, suami sudah benar-benar tidak mampu lgi emberi nafkah, sekalipun itu pakaian yang sederhana dan tempat tinggal, atau tidak membayar maharnya sebelum mencampuri istrinya.
Ketika suami pergi tidak diketahui di mana keberadaanya, istri tidak boleh di fasakhkan sebelum benar-benar diketahui kemana suaminya itu pergi. Akan tetapi menurut maliki di tangguhkan sampai 4 tahun sesudah itu difasakhkan oleh hakim atas tuntutan istri. Sebagian ulama berpendapat hakim boleh memasakhkan sesudah di beri masa tenggang yang dipandang perlu oleh hakim. Paling baik di tunggu 4 tahun mengingat perhubungan di masa itu sukar dan sulit.[6]
D.    Pelaksanaan pembatalan perkawinan
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas dan dibenarkan oleh syara, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan, misalnya terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, atau saudara susuan.
            Akan tetapi terjadi hal-hal sperti berikut maka pelaksanaannya adalah:
1.      Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal ini hendaknya diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti qadi nikah di Pengadilan Agama supaya yang berwenang dapat menyelesaikan sebagaimana mestinya, sebagaimana dijelaskan dalam suatu riwayat berikut ini.
عن عمر رضي الله عنه انه كتب الي امراء الاجناد في رجال غابوا عن النساءهم ان ياخذوهم بان ينفقوا او يطلقوا فان طلقوا بعثوا بنفقة ما حسبوا رواه الشافعي والبيحقي
Dari Umar R.A. bahwa ia pernah mengirim surat kepada pembesar pembesar tentara tentang laki-laki yang telah jauh dari istri-istri mereka supaya pemimpin-pemimpin itu menangkap mereka, agar mereka mengirimkan nafkah atau menceraikan istrinya. Jika mereka telah menceraikannya hendaklah mereka kirim semua nafkah yang telah mereka tahan.
2.      Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurangnya tiga hari sejak dari istri yang mengadu, jika masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya. Rasululloh Sallaahu wassalam bersabda:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم في الرجل لا يجد ما ينفق علي امراته يفرق بينهما رواه الدارقطني والبيهقي
Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw. Bersabda tentang laki-laki yang tidak memperoleh apa yang akan dinafkahkannya kepada istrinya, bolehlah keduanya bercerai. (HR. Darul Quthni dan Baihaqi ).

Di kalangan ulama’ terjadi perbedaan pendapat mengenai waktu pelaksanaannya fasakh akad nikah. Abdurrahman Al-Zajiri mengemukakan pendapat ulama’ Hanabilah bahwa apabila suami murtad bersama-sama setelah dukhul atau sebelum dukhul, nikahnya batal dan harus diceraikan. Dan tidak putus nikahnya sebelum masa iddahnya habis, sehingga diantara masih ada waktu untuk bertobat. Apabila masih tetap dalam kemurtadannya pernikahannya fasakh.[7]
Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menurut Hasbi Ash-Shidiqie dalam suatu riwayat mengatakan jika dari salah satu suami atau istri murtad, perceraiannya harus disegerakan demi menjaga tauhid dari salah satunya. Jika yang murtad adalah suaminya yang lebih kuat mengajak mengajak istrinya untuk ikut murtad. Perceraian disebabkan oleh alasan kemurtadan tersebut dan bukan alasan lainnya.
            Dalam penyelesaian proses penyelesaian masalah fasakh terdapat persyaratan persyaratan tertentu yaitu:
1.      Mengajukan perkara kepada hakim atau pengadilan.
2.      Keadaan suami sudah mukallaf.
3.      Pihak istri keberatan dengan keadaan suaminya yang mengalami impoten atau murtad, demikian pula pihak suami merasa kemurtadan istri dan berbagai penyakit yang dideritanya.
Di Indonesia, masalah pembatalan perkawinan diatur dalam kompilasi hukum islam (KHI) sebagai berikut:[8]
1.       Seorang suami dan istri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pernikahan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
2.      Seorang suami dan istri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pada waktu berlangsungnya pernikahan penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
3.      Apabila ancaman telah berhenti, atau bersalah sanka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isti, dan tidak mengajukan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan maka haknya gugur.
Adapun yang mengajukan permohonan pembatalan pernikahan adalah:
1.      Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari suami atau istri.
2.      Suami atau istri.
3.      Pejabat yang berwewenang mengawasi pelaksanaan pernikahan menurut undang-undang.
4.      Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat pernikahan menurut hukum islam dan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam kompilasi hukum islam juga dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1.      Permohonan pembatalan pernikahan dapat diajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat pernikahan dilangsungkan.
2.      Batalnya suatu pernikahan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya pernikahan.
E.     Akibat Hukum Fasakh[9]
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talaq. Sebab talaq ada talaq ba’in dan talaq raj’i. Talaq raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika sedang talaq ba’in mengakhirinya seketika itu juga. Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.
Selain itu, pisahnya suami istri yang diakibatkan talaq dapat mengurangi bilangan talaq itu sendiri. Jika suami menalaq istrinya dengan talaq raj’i, kemudian kembali pada masa iddahnya atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perbuatannya terhitung satu talaq, yang ia masih ada dua kali kesempatan dua talaq lagi. Sedangkan pisahnya suami istri karenafasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talaq, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua suami istri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talaq.
Ahli fiqh golongan Hanafi membuat rumusan umum untuk membedakan pengertian pisahnya suami istri. Sebab talaq dan sebab fasakh mereka berkata karena, ”Pisahnya suami istri karena suami, dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talaq”. Dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talaq. Dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami, atau karena suami tetap dengan pengaruh dari istri disebut fasakh.
Mengenai masalah fasakh, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Imam Syafi’i berkata ” harus menungu selama tiga hari ”. Sedang Imam Maliki mengatakan, ”harus menunggu selama satu bulan”. Dan Imam Hambali mengaakan, ”harus menunggu selama satu tahun. Semua itu maksudnya adalah selama masa tersebut laki-laki boleh mengambil keputusan akan bercerai atau memberikan nafkah bila istri tidak rela lagi kalau si istri mau menunggu, dan ia rela rela dengan ada belanja dari suaminya, maka tidak perlu difasakhkan sebab nafkah itu adalah haknya.[10]





[1] Beni Ahmad Saebani, Fikih Munakahat, ( Bandung: Pustaka Setia, 2001 ) hlm 105
[2] Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, ( Bogor: Kencana, 2003 ) hlm 142-143
[3] Ibid 2, hlm 148
[4] Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam dan kontemporer, ( Kencana, Jakarta. 2004 ) hlm152
[6] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,( Kencana, Jakarta. 2006 ) hlm 251
[7] Ibid 1, hlm 108-109
[8] Ibid 1, hlm 123-126
[9] Ibid 5 hlm.253-

0 komentar:

Posting Komentar