Rabu, 06 Maret 2013


"Cinta laki-laki seumpama gunung. Ia besar tapi konstan dan
(sayangnya) rentan, sewaktu-waktu ia bisa saja meletus memuntahkan
lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Cinta perempuan seumpama
kuku. Ia hanya seujung jari, tapi tumbuh perlahan-lahan, diam-diam dan
terus menerus bertambah. Jika dipotong, ia tumbuh dan tumbuh lagi."

Perumpamaan di atas terilhami melalui sebuah dialog dalam adegan film
"Bulan Tertusuk Ilalang" karya Garin Nugroho. Betapa menakjubkan. Dan
kalimat itu mengingatkan saya pada kenangan tentang sahabat saya dan
mamanya ketika masa-masa SMP-SMU dulu.

Kala itu, nyaris setiap hari saya main ke rumahnya yang jauh di selatan
kota. Saya tahu dia anak orang kaya. Papanya, pimpinan sebuah instansi
pemerintah terkemuka di kota saya dan mamanya adalah ibu rumah tangga
biasa. Saya tak heran menda pati barang-barang bagus dan bermerk di
rumahnya yang masih dalam tahap renovasi. Sofa yang empuk, televisi yang
besar. Saya hanya bisa berdecak kagum sekaligus iri.

Tapi, lama-lama saya menyadari bahwa isi rumah itu makin kosong dari
hari ke hari. Perabotan yang satu per satu lenyap dan televisi yang
'mengkerut' dari 29 inchi ke 14 inchi. Perubahan paling mencolok adalah
wajah mama sahabat saya. Suatu saat ketika ia berbicara, tak sengaja
saya dapati suatu kenyataan bahwa mama sahabat saya itu kini ompong!
Kira-kira 2-3 gigi depannya hilang entah kemana.

Saya tak berani -lebih tepatnya tak tega - untuk bertanya. Saya juga tak
mau tergesa-gesa mengambil kesimpulan sendiri. Yang jelas, sebuah suara,
jauh di lubuk hati saya bergema : "Sesuatu yang buruk telah terjadi di
rumah itu!"
Benarlah, tanpa diminta akhirnya sahabat saya datang berkunjung ke rumah
saya. Setengah berbisik, ia bercerita bahwa papanya selingkuh dengan
perempuan lain dan karenanya, nyaris tak pernah pulang ke rumah. Dan
ini bukan main-main, perempuan itu hamil dan menuntut pertanggung
jawaban papanya.

Dengan emosi ia bercerita bahwa papanya mengajaknya ke rumah perempuan
itu dan meminta sahabat saya untuk memanggilnya dengan sebutan "Mama".
Sebuah permintaan menyakitkan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh
sahabat saya. "Mamaku cuma satu" tangkisnya tegar saat itu. Dan misteri
tentang gigi mamanya yang tiba-tiba ompong, barang-barang mewah dan
perabot yang satu per satu menghilang dari rumahnya pun terkuak sudah.
Semuanya adalah akibat ulah papanya jua.

Dan setengah frustasi ia mengadu pada saya bahwa ia harus menanggung
semua beban berat itu sendirian karena kakak satu-satunya yang kuliah di
luar kota tak peduli dan tak mau memikirkan masalah itu. Mamanya pun
-yang lemah lembut- tak bisa berbuat banyak dengan kelakuan suaminya. Ia
cuma bisa pasrah, gigi yang ompong itu buktinya. Dan saya? Hanya doa dan
motivasi yang bisa saya berikan agar sahabat saya itu tabah dan tak
putus berdoa.

Toh sekarang, setelah lama peristiwa itu berlalu, doa sahabat saya pun
dijawab oleh Tuhan. Ketika itu menjelang kelulusan SMU, ia bercerita
pada saya bahwa papanya sudah 'sembuh', bertobat, dan kembali ke
pangkuan istri dan anak-anaknya. Nasib the other women itu entah
bagaimana. Sampai di sini persoalan beres. Dan saya takjub mendengarnya,
senang sekaligus heran.

Bagaimana mungkin masalah pelik ini bisa selesai semudah itu? Nurani
keadilan saya berontak. Saya tak habis pikir, betapa mudahnya mama
sahabat saya itu memaafkan dan menerima kembali suaminya setelah semua
yang dilakukannya. Lelaki itu tak cuma berkhianat, tapi juga menyakiti
fisiknya, merontokkan gigi-gigi depannya, tak menafkahi anak-anaknya dan
nyaris mengosongkan isi rumahnya. Dan ia memaafkannya begitu saja.
Sebuah kenyataan yang ternyata banyak juga saya temui di masyarakat
kita. Perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga yang bisa
diselesaikan dengan mudah, hanya dengan kata maaf. Mungkin inilah yang
disebut orang sebagai "CINTA"!

Papa sahabat saya adalah laki-laki dengan cinta sebesar gunung, dan
ketika ia meletus, laharnya meluap kemana-mana, menghanguskan apa saja,
melukai fisik dan terutama hati dan jiwa istri dan anak-anaknya.

Mama sahabat saya adalah perempuan dengan cinta sebesar kuku. Memang
cuma seujung jari, tapi cinta itu terus tumbuh, tak peduli jika kuku itu
dipotong, bahkan jika jari itu cantengan dan sang kuku terpaksa harus
dicabut, meski sakitnya tak terkira, kuku itu akan tetap tumbuh dan
tumbuh lagi.

Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang perempuan yang saya yakin tak
cuma dimiliki oleh mama sahabat saya itu.

Cinta yang terwujud dalam sebuah tindakan agung : "Memaafkan". Sebuah
tindakan yang butuh kekuatan besar, butuh energi banyak, yang anehnya
banyak dimiliki oleh makhluk (yang katanya) lemah bernama perempuan.

0 komentar:

Posting Komentar