Jumat, 18 Mei 2012

ASURANSI




ASURANSI
A.    PENGERTIAN
Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, properti, kesehatan dan lain sebagainya mendapatkan penggantian dari kejadian-kejadian yang tidak dapat diduga yang dapat terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, dimana melibatkan pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang menjamin perlindungan tersebut.
1.        Macam-Macam Asuransi
a.         Asuransi bisnis
b.         Asuransi kolektif
c.         Asuransi sosial
d.        Asuransi bahaya
e.         Asuransi jiwa
f.          Asuransi jaminan
B.     HUKUM ASURANSI
1.      Asuransi Sosial, diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
·           Asuransi sosial tidak termasuk akad mu'awadlah, tetapi merupakan syirkah ta'awuniyah.
·           Diselenggarakan oleh Pemerintah. Sehingga kalau ada ruginya ditanggung oleh Pemerintah, dan kalau ada untungnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.
2.      Asuransi kerugian, diperbolehkan dengan syarat apabila memenuhi ketentuan-  ketentuan sebagai berikut :
·           Apabila asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi obyek-obyek yang menjadi agunan bank.
·           Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari, karena terkait oleh ketentuan-ketentuan Pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang yang di impor dan diekspor.
3.      Asuransi jiwa hukumnya haram kecuali apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
·        Apabila asuransi jiwa tersebut mengandung unsur saving (tabungan).
·         Pada waktu menyerahkan uang premi, pihak tertanggung beniat untuk menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi).
·        Pihak penanggung bemiat menyimpan uang tabungan milik pihak tertanggung dengan cara-cara yang dibenarkan/dihalalkan oleh syariat agama Islam.
·        Apabila sebelum jatuh tempo yang telah disepakati bersama antara pihak tertanggung dan pihak menanggung seperti yang telah disebutkan dalam polis (surat perjanjian). ternyata pihak penanggung sangat memerlukan (keperluan yang bersifat darurat) uang tabungannva, maka pihak tertanggung dapat mengambil atau mcnarik kemballi sejumlah uang simpanannya dari pihak penanggung dan pihak penanggung berkewajiban menyerahkan sejumlah uang tersebut kepadanya.
·        Apabila pada suatu ketika pihak tertanggung terpaksa tidak dapat membayar uang premi, maka :
1.    Uang premi tersebut menjadi hutang yang dapat diangsur oleh pihak tertanggung pada waktu-waktu pembayaran uang premi berikutnya.
2.    Hubungan antara pihak tertanggung dan pihak penanggung dinyatakan tidak putus.
3.    Uang tabungan milik pihak tertanggung tidak dinyatakan hangus oleh pihak  penanggung.
4.    Apabila sebelum jatuh tempo pihak tertanggung meninggal dunia, maka ahli warisnya berhak untuk mengambil sejumlah uang simpanannya, sedang pihak penanggung berkewajiban mengembalikan sejumlah uang tersebut.
·     Para musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya asuransi secara Islam.
·      Sebelum tercapainya cita-cita terwajudnya Asuransi Islam hendaknya sistem perasuransian yang ada sekarang ini diperbaiki dengan menghilangkan unsur-unsur yang terlarang, sehingga tidak bertentangan dengan tuntunan ajaran Islam.
C.    MANFAAT ASURANSI
1.         Rasa aman dan perlindungan
2.         Asuransi dapat dijadikan sebagai tabungan dan sumber pendapatan.
3.         Polis asuransi dapat dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit.
4.         Pendistribusian dan manfaat.

D.    PANDANGAN ULAMA TERHADAP ASURANSI
Hampir semua ulama sepakat mengenai pentingnya asuransi dalam kehidupan sosial. Namun mereka berbeda pandangan ketika berbicara mengenai hukum dari Asuransi, dilihatdari sudut fiqh Islam.
Secara umum, pandangan ulama terhadap asuransi terwakili dalam tiga golongan pendapat:
1.      Golongan pendapat yang menghalalkan asuransi
Diantara ulama yang menghalalkan asuransi adalah :
Syekh Abdul Wahab Khalaf, Musthafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Bahjat Ahmad Hilmi dsb. Diantara alasan pendapat yang menghalalkan asuransi adalah
a.       Tidak adanya nash Qur’an maupun hadits yang melarang.
b.      Peserta asuransi dan perusahaan sama-sama rela dan ridha.
c.       Tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
d.      Asuransi bahkan memberikan keuntungan kedua pihak.
e.       Asuransi termasuk akad mudharabah, peserta sebagai shahibul mal dan perusahaan asuransi sebagai mudharibnya.
f.       Usaha asuransi sangat menguntungkan kemaslahatan umum.

2.      Golongan pendapat yang mengharamkan asuransi
Diantara ulama yang mengharamkan asuransi adalah Syekh Ahmad Ibrahim, Sayid Sabiq, Muhammad Abu Zahrah, Abdullah Al-Qalqili, Syekh Muhammad Bakhit Al-Mu’thi’i, dsb.
Diantara alasan pendapat yang mengharamkan asuransi adalah:
a.    Asuransi mengandung unsur perjudian (maisir/ qimar)
b.    Asuransi mengandung unusr ketidak jelasan dan ketidak pastian (gharar).
c.     Asuransi mengandung unsur riba.
c.       Potensi terjadi dzulm bagi nasabah yang tidak bisa melanjutkan pembayaran premi,    yaitu berupa hilang atau hangusnya premi yang telah dibayarkannya.
d.      Asuransi termasuk akad sharf, yaitu terjadinya tukar menukar uang.

3.      Golongan pendapat yang memperbolehkan asuransi dengan syarat-syarat dan catatan-catatan tertentu
Pendapat yang paling mu’tadil dalam masalah asuransi adalah pendapat yang ketiga, yaitu diperbolehkannya asuransi dengan syarat-syarat tertentu. Alasannya adalah :
a.         Dalam muamalah hukum asalnya adalah boleh (ibahah), selama tidak ada nash yang malarangnya.
b.      Asuransi sudah menjadi dharurah ijtima’iyah, khususnya di negera-negera maju.
Diantara syarat-syarat diperbolehkannya asuransi :
c.       Menghilangkan unsur-unsur yang diharamkan yang terdapat dalam asuransi, yaitu gharar, riba dan maisir.
d.      Merubah sistem asuransi yang bersifat jual-beli (tabaduli) menjadi sistem yang bersifat tolong menolong (ta’awuni), di mana peserta asuransi saling tolong menolong terhadap peserta lain yang tertimpa musibah.
e.        Konsekuensinya adalah menjadikan premi yang dibayarkan peserta sebagiannya dijadikan tabarru’, (hibah/ derma) yang dikelola dalam satu fund khusus, yang peruntukannya khusus untuk memberikan manfaat asuransi.
f.       Pengelolaan dana atau investasinya haruslah pada proyek-proyek yang sesuai dengan syariah.
Sedangkan pendapat lain, menyatakan:
Dalam mengkaji masalah asuransi konvensional, para ulama melihat didalamnya ada empat hal yang menjadi pangkalan perselisihan, ketiga hal tersebut adalah:
a.    Adanya unsur ketidak pastian (gharar)
Dalam asuransi konvensional perjajian asuransi jiwa termasuk akad pertukaran (tabadduli), yaitu pertukaran pembayaran premi de gan uang pertanggungan. Dalam hal ini unsur ghararnya terlihat bahwa nasabuah mengetahui secara pasti besarnya jumlah seluruh premi yang akan dibayar.
b.     Adanya unsur untung-untungan (gambling), semacam perjudian (maisir)
Dalam asuransi konvensional ada pihak yang mendapatkan keuntungan dan sebagian ada yang mengalami kerugian.
c.    Adanya unsur riba
Dalam ansuransi konvesional dana yang dikumpulkan dari para nasabah akan ditanamkan di berbagi usaha dengan sistem bunga, seperti didepositkan di bagi bank dengan sistem bunga, dalam bentuk SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan sebagainya.
d.   Unsur Komersial.
Dalam asuransi konvensional penanam modal bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, seperti halnya menanamkan modalnya di banding komersial lainnya semacam PT, Firma, CV dan sebagainya.
Tujuan asuransi ini sangatlah mulai karena keinginan untuk saling tolong menolong kedalam kebaikan. Namun persoalan yang dipertikaikan lebih lanjut oleh para ulama bagaimana instrumen yang akan mewujudkan niat baik dari asuransi tersebut, baik itu bentuk akad yang melandasinya. Sistem pengelolaan dana, bentuk majemen dan lain sebagainya.
Dari permasalah instrumen pendukung inilah, para ulama terpola kepada dua kelompok besar. Pertama kelompok yang mengharamkan asuransri syariah karena bebetapa hal, diantaraanya:
·           Ibnu abidin dari kalangan mazhab Hnafiah yang berpendapat bahwa asuransi haram karena uang setoran peserta (primer) tersebut adalah iltizam maa lam yalzam (mewajibkan sesuatu yang tidak lazim/wajib).
·           Muhammad Bakhit al-Muth’I (bekas mufti Mesir) mengatkan bahwa akad asuransi yang menjamin atas hartan benda pada hakikatnya termasuk dalam kafalah atau ta’addi/itilaf.
·           Muhammad Al-Gazali mengatakan bahwa asuransi haram karena mengandung riba. Beliau melihat riba tersebut misalnya dalam pengelolaan dana asuransi dan pengambilan premi yang disertai bunga ketika waktu perjanjian telah habis.

E.     ASURANSI DALAM SISTEM ISLAM
Dalam perjalanan kehidupan manusia segala kemungkinan bisa saja terjadi. Tidak seorangpun dapat memastikan segala gerak gerik dalam kehidupannya seperti yang diinginkannya. Karena itu, dalam interaksi kehidupan kita, Allah SWT telah menyuruh kita untuk saling tolong menolong diantara sesama. Konsep tolong menolong ini bisa diwujudkan dengan saling tanggung menanggung risiko diantara sesama sehingga antara satu dengan yang lain menjadi penanggung atas risiko masing-masing.
Di jelaskan oleh Muhammad Nejatullah Shiddiqi bahwa asuransi merupakan suatu kebutuhan dasar bagi manusia karena kecelakaan dan konsekuensi finansialnya memerlukan santunan. Asuransi merupakan organisasi penyantun masalah-masalah yang universal, seperti kematian mendadak, cacat, penyakit pengangguran, kebakaran, banjir, badai, dan kecelakaan- kecelakaan yang bersangkutan dengan transportasi serta kerugianfinansial yang disebabkannya. Kecelakaan-kecelakaan seperti diatas tidak hanya bergantung pada tindakan para sukarelawan, kenyataan ini menuntut asuransi untuk diperlakukan sebagai kebutuhan dasar manusia pada ruang lingkup yang sangat luas dari kegiatan-kegiatan dan situasi manusia.

0 komentar:

Posting Komentar