Jumat, 25 Mei 2012

Kredit




KREDIT
A.    PENGERTIAN
Kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu “credere” atau “credo” yang berarti kepercayaan (trust atau faith). Oleh karena itu dasar dari kegiatan pemberian kredit dari yang memberikan kredit kepada yang menerima kredit adalah kepercayaan.
Transaksi kredit timbul karena suatu pihak meminjam sejumlah uang atau sesuatu yang dipersamakan dengan itu, di mana pihak peminjam wajib melunasi hutangnya atau rekeningnya tersebut pada waktu yang telah ditentukan. Disamping itu kredit pun timbul sebagai akibat adanya transaksi jual beli, dimana pembayarannya ditangguhkan, baik sebagian maupun seluruhnya.
Adapun pengertian kredit menurut UU Perbankan No.7 tahun 1992 :
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara suatu perusahaan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah uang, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”
Unsur Pemberian Kredit
Pemberian kredit oleh perbankan  mengandung  beberapa unsur, yaitu :
·         Kepercayaan, Keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan akan benar-benar diterima kembali.
·         Kesepakatan, Suatu perjanjian di mana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.
·         Jangka waktu, Masa pengembalian kredit  yang telah disepakati bersama.
·         Risiko, Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu risiko tidak tertagihnya/macet pemberian kredit.
·         Balas jasa, Keuntungan atas pemberian suatu kredit atau pembiayaan yang dikenal sebagai bunga untuk bank konvensional atau bagi hasil uantuk bank syariah.
Tujuan Pemberian Kredit   
Tujuan pemberian kredit adalah:
·           Mencari keuntungan;   Pemberian kredit merupakan upaya untuk memperoleh hasil dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan profisi kredit  yang dibebankan kepada nasabah, dengan harapan nasabah yang memperoleh kredit pun bertambah maju dalam usahanya. Keuntungan nasabah ini penting untuk kelangsungan hidup bank dan kemajuan usaha nasabah.
·           Membantu usaha nasabah;   Membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana modal kerja, sehingga debitur akan dapat mengembangkan dan memperluas usahanya.
·           Membantu pemerintah;Semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin banyak pengusaha yang  dapat berkembang, sehingga mendukung pembangunan di berbagai sektor yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan pemerintah dari sektor pajak.
·           Membantu masyarakat;Semakin berkembang sektor riil yang diusahakan oleh pengusaha mikro, kecil dan menengah, akan menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat akan meningkat.

B.     Dasar Hukum Kredit
Dasar hukum kredit pada dasarnya sama dengan hutang piutang, yaitu pada Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2:
. . . . وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٢)
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(Q.S al-Maidah : 2

Munir Fuady mengemukakan dasar-dasar hokum perjanjian kredit, sebagai berikut:
1.         Perjanjian diantara para pihak
            Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Maka dengan ketentuan pasal itu berlaku sah setiap perjanjian yang dibuat secara sah bahkan kekuatannya sama dengan kekuatan undang-undang. Demikian pula dalam bidang perkreditan, khususnya kredit bank yang diawali oleh satu perjanjian yang sering disebut dengan perjanjian kredit dan umumnya dilakukan dalam bentuk tertulis.
2.         Undang-undang sebagai dasar hukum
            Di Indonesia undang-undang yang khusus mengatur tentang perbankan adalah Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan Nomor 7 tahun 1998 tentang Perbankan.
3.         Peraturan Pelaksanaan Sebagai Dasar Hukum
            Peraturan perundang-undangan seperti ini cukup banyak. Hal ini diakibatkan oleh karena suatu karakter yuridis dari bisnis perbankan yakni bidang bisnis yang sarat dengan pengaturan dan petunjuk pelaksanaan (Heaviy regulated bussiness).
Diantara peraturan perundangan yang levelnya dibawah undang-undang yang mengatur juga tentang perkreditan dapat diklassifikasikan sebagai berikut :
a.         Peraturan Pemerintah
b.         Peraturan perundang-undangan oleh Menteri Keuangan
c.         Peraturan Perundang-undangan oleh Bank Indonesia
d.        Peraturan perundang-undangan lainnya

4.         Yurisprudensi Sebagai Dasar Hukum
Di samping peraturan perundang-undangan yang telah disepakati sebagai dasar hukum untuk untuk kegiatan perkreditan yurisprudensi dapat juga menjadi dasar hukum.
5.         Kebiasaan Perbankan Sebagai Dasar Hukum
            Dalam Ilmu Hukum diajarkan bahwa kebiasaan dapat juga menjadi suatu sumber hukum. Demikian juga dalam bidang perkreditan, kebiasaan dan dan praktikperbankan dapat juga menjadi suatu dasar hukumnya. Memamng banyak hal yang telah lazim dilaksanakan dalam praktek tetapi belummendapat pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Hal seperti ini tentu sah-sah saja untuk dilakukan oleh perbankan, asal saja tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mnurut UU Perbankan Nomor 10 tahun 1998, bank bahkan dapat melakukan kegiatan lain dari yang telah diperincikan oleh Pasal 6 nya, jika hal tersebut merupakan kelaziman dalam dunia perbankan ( vide Pasal 6 huruf n ).
6.         Peraturan Terkait Lainnya Sebagai Dasar Hukum
            Dalam pemberian kredit bankseringkali terkait dengan beberapa peraturan perundang-undangan, sebagai contoh karena kredit pada hakekatnya merupakan suatu wujud perjanjian, maka akan terkait buku ketiga KUH Perdata tentang Perikatan, demikian halnya dengan ketentuan mengenai hipotik atau hak tanggungan yang diatur dalam UU Pokok Agraria UU No 5 tahun 1960, HIR tentang eksekusi hipotik, KUH Acara Perdata dan lain-lain. UU No 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

C.    NISBAH PINJAMAN
Secara umum para fuqaha mendefinisikan mudharabah sebagai penyerahan sejumlah modal tertentu dari seorang sahib al mal (penyandang dana) kepada mudarib (pengusaha) agar uang tersebut dapat dikelola dan jika ada keuntungan dibagi secara bersama-sama berdasarkan kesepakatan dan jika terjadi kerugian maka ditanggung uang modal itu oleh sahib al- mal dengan syarat-syarat tertentu.
Nisbah keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak tidak diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi kepada pihak yang lain. Selain itu proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan.
Dalam kajian hukum muamallah, masalah akad (‘aqd) atau perjanjian menempati posisi sentral, karena ia merupakan cara paling penting yang digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu secara sah.
Didalam akad atau perjanjian terdapat pernyataan atas suatu keinginan positif dari salah satu pihak yang terlibat dan diterima oleh pihak lainnya, yang menimbulkan akibat hukum pada obyek perjanjian.

D.    ISLAM DAN KREDIT
Dalam hal ini, para ulama telah berselisih pendapat semenjak dahulu hingga sekarang dan menjadi tiga pendapat.
1.         Bahwa hal itu adalah batil secara mutlak, dan ini adalah pendapat Ibnu Hazm
2.         Bahwa hal itu adalah tidak boleh kecuali apabila dua harga itu dipisah (ditetapkan) pada salah satu harga saja. Misalnya apabila hanya disebutkan harga kreditnya saja.
3.         Bahwa hal itu tidak boleh. Akan tetapi apabila telah terjadi dan harga yang lebih rendah dibayarkan maka boleh.
Syaikh Al Albani berkata : "Alasan dilarangnya ‘dua (harga) penjualan dalam satu penjualan' disebabkan oleh ketidaktahuan harga, adalah alasan yang tertolak. Karena hal itu semata-mata pendapat yang bertentangan dengan nash yang jelas di dalam hadits Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud bahwa (penyebab larangan) itu adalah riba. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain (yang menjadi pendapat ini tertolak, -pent) ialah karena alasan mereka ini dibangun di atas pendapat wajibnya ijab dan qabul dalam jual beli. Padahal (pendapat) ini tidak ada dalilnya, baik melalui Kitab Allah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di dalam (jual-beli) itu cukup (dengan) saling rela dan senang hati. Maka selama ada rasa saling rela dan senang hati di dalam jual beli, dan ada petunjuk kearah sana, berarti itu merupakan jual-beli yang syar'i. Itulah yang dikenal oleh sebagian ulama dengan (istilah) jual beli Al-Mu'aathaah [Yaitu akad jual beli yang terjadi tanpa ucapan atau perkataan (ijab qabul) akan tetapi dengan perbuatan saling rela. Seperti pembeli mengambil barang dagangan dan memberikan (uang) harganya kepada penjual ; atau penjual memberikan barang dan pembeli memberikan (uang) harganya tanpa berbicara dan tanpa isyarat, baik barang itu remeh atau berharga. (Lihat "Al-Fihul Islami wa Adillatuhu IV/99 oleh DR Wahbah Az-Zuhaili)], Asy-Syaukani berkata di dalam “As-Sail Al-Jarar (III/126)”
“Jual beli al-mu’aathaah ini, yang dengannya terwujud suasana saling rela dan senang hati adalah jual beli syar’i yang diijinkan oleh Allah, sedangkan menambahinya (dengan syarat-syarat lain, pent) adalah termasuk mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh syara (agama)”.
E.     BANK PERKREDITAN
Bank Perkreditan Rakyat ( BPR ) adalah salah satu jenis bank yang dikenal melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah. Dengan lokasi yang pada umumnya dekat dengan tempat masyarakat yang membutuhkan. BPR sudah ada sejak jaman sebelum kemerdekaan yang dikenal dengan sebutan Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani dan Bank Dagang Desa atau Bank Pasar. BPR merupakan lembaga perbankan resmi yang diatur berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998.
Dalam undang-undang tersebut secara jelas disebutkan bahwa ada dua jenis bank, yaitu BANK UMUM dan BPR. Fungsi BPR tidak hanya sekedar menyalurkan kredit kepada para pengusaha mikro, kecil dan menengah, tetapi juga menerima simpanan dari masyarakat. Dalam penyaluran kredit kepada masyarakat menggunakan prinsip 3T, yaitu Tepat Waktu, Tepat Jumlah, Tepat Sasaran, karena proses kreditnya yang relatif cepat, persyaratan lebih sederhana
   
F.     JUAL ANGSUR
Penjualan angsuran adalah penjualan yang dilakukan dengan perjanjian dimana pembayarannya dilakukan secara bertahap ( berangsur – angsur ) oleh si pembeli dalam jangka waktu yang ditentukan dan mempunyai ketentuan yaitu adanya pembayaran uang muka (Down payment)
Jenis – jenis Perjanjian Angsuran
Untuk melindungi kepentingan si penjual atas kepentingan resiko atau tidak ditepatinya kewajiban- kewajiban oleh pihak pembeli, maka jual beli secara angsuran sering berdasarkan atas perjanjian.
Perjanjian tersebut antara lain :
1.         Perjanjian penjualan bersyarat ( Conditional Sales Contaract ), dimana barang-barang telah diserahkan, tetapi hak atas barang-barang masih berada ditangan penjual sampai seluruh pembayarannya pertama.
2.         Pada saat perjanjian ditandatangani dan pembayaran pertama telah dilakukan hak milik dapat diserahkan kepada pembeli, tetapi dengan menggadaikan atau menghipotik untuk bagian harga penjualan yang belum dibayar kepada si penjual.
3.         Hak milik atas barang untuk sementara diserahkan kepada suatu badan “trust” (Trustee) sampai pembayaran harga penjualan dilunasi. Setelah pembayaran lunas oleh pembeli baru trustee menyerahkan hak atas barang-barang itu kepada pembeli. Perjanjian semacam ini dilakukan dengan membuat akte kepercayaan.
4.         Beli Sewa ( Lease-puchase), dimana barang yang telah diserahkan kepada pembeli. Pembayaran angsuran dianggap sewa sampai harga dalam kontrak telah dibayar lunas, baru sesudah itu hak milik berpindah kepada pembeli.

0 komentar:

Posting Komentar