KREDIT
A.
PENGERTIAN
Kredit
berasal dari bahasa Yunani, yaitu “credere” atau “credo” yang berarti
kepercayaan (trust atau faith). Oleh karena itu dasar dari kegiatan pemberian
kredit dari yang memberikan kredit kepada yang menerima kredit adalah
kepercayaan.
Transaksi kredit timbul karena suatu pihak meminjam
sejumlah uang atau sesuatu yang dipersamakan dengan itu, di mana pihak peminjam
wajib melunasi hutangnya atau rekeningnya tersebut pada waktu yang telah
ditentukan. Disamping itu kredit pun timbul sebagai akibat adanya transaksi
jual beli, dimana pembayarannya ditangguhkan, baik sebagian maupun seluruhnya.
Adapun
pengertian kredit menurut UU Perbankan No.7 tahun 1992 :
“Kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara suatu perusahaan dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah uang, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan.”
Unsur Pemberian
Kredit
Pemberian
kredit oleh perbankan mengandung beberapa unsur, yaitu :
·
Kepercayaan, Keyakinan pemberi kredit bahwa
kredit yang diberikan akan benar-benar diterima kembali.
·
Kesepakatan, Suatu perjanjian di mana
masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.
·
Jangka waktu, Masa pengembalian kredit
yang telah disepakati bersama.
·
Risiko, Adanya suatu tenggang waktu
pengembalian akan menyebabkan suatu risiko tidak tertagihnya/macet pemberian
kredit.
·
Balas jasa, Keuntungan atas pemberian suatu
kredit atau pembiayaan yang dikenal sebagai bunga untuk bank konvensional atau
bagi hasil uantuk bank syariah.
Tujuan
Pemberian Kredit
Tujuan
pemberian kredit adalah:
·
Mencari keuntungan; Pemberian
kredit merupakan upaya untuk memperoleh hasil dalam bentuk bunga yang diterima
oleh bank sebagai balas jasa dan profisi kredit yang dibebankan kepada
nasabah, dengan harapan nasabah yang memperoleh kredit pun bertambah maju dalam
usahanya. Keuntungan nasabah ini penting untuk kelangsungan hidup bank dan
kemajuan usaha nasabah.
·
Membantu usaha nasabah; Membantu
usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana modal
kerja, sehingga debitur akan dapat mengembangkan dan memperluas usahanya.
·
Membantu pemerintah;Semakin banyak kredit yang
disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin banyak pengusaha yang dapat
berkembang, sehingga mendukung pembangunan di berbagai sektor yang pada
akhirnya meningkatkan pendapatan pemerintah dari sektor pajak.
·
Membantu masyarakat;Semakin berkembang sektor
riil yang diusahakan oleh pengusaha mikro, kecil dan menengah, akan menciptakan
kesempatan kerja bagi masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat akan
meningkat.
B.
Dasar Hukum
Kredit
Dasar hukum
kredit pada dasarnya sama dengan hutang piutang, yaitu pada Al-Qur’an surat
al-Maidah ayat 2:
. . . . وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٢)
Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(Q.S al-Maidah : 2
Munir Fuady
mengemukakan dasar-dasar hokum perjanjian kredit, sebagai berikut:
1.
Perjanjian
diantara para pihak
Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Maka dengan ketentuan pasal
itu berlaku sah setiap perjanjian yang dibuat secara sah bahkan kekuatannya
sama dengan kekuatan undang-undang. Demikian pula dalam bidang perkreditan,
khususnya kredit bank yang diawali oleh satu perjanjian yang sering disebut
dengan perjanjian kredit dan umumnya dilakukan dalam bentuk tertulis.
2.
Undang-undang
sebagai dasar hukum
Di Indonesia undang-undang yang
khusus mengatur tentang perbankan adalah Undang-undang No. 10 tahun 1998
tentang Perbankan dan Nomor 7 tahun 1998 tentang Perbankan.
3.
Peraturan
Pelaksanaan Sebagai Dasar Hukum
Peraturan perundang-undangan seperti
ini cukup banyak. Hal ini diakibatkan oleh karena suatu karakter yuridis dari
bisnis perbankan yakni bidang bisnis yang sarat dengan pengaturan dan petunjuk
pelaksanaan (Heaviy regulated bussiness).
Diantara
peraturan perundangan yang levelnya dibawah undang-undang yang mengatur juga
tentang perkreditan dapat diklassifikasikan sebagai berikut :
a.
Peraturan Pemerintah
b.
Peraturan perundang-undangan oleh Menteri
Keuangan
c.
Peraturan Perundang-undangan oleh Bank
Indonesia
d.
Peraturan perundang-undangan lainnya
4.
Yurisprudensi
Sebagai Dasar Hukum
Di samping peraturan perundang-undangan yang
telah disepakati sebagai dasar hukum untuk untuk kegiatan perkreditan
yurisprudensi dapat juga menjadi dasar hukum.
5.
Kebiasaan
Perbankan Sebagai Dasar Hukum
Dalam Ilmu Hukum diajarkan bahwa
kebiasaan dapat juga menjadi suatu sumber hukum. Demikian juga dalam bidang
perkreditan, kebiasaan dan dan praktikperbankan dapat juga menjadi suatu dasar
hukumnya. Memamng banyak hal yang telah lazim dilaksanakan dalam praktek tetapi
belummendapat pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Hal seperti ini
tentu sah-sah saja untuk dilakukan oleh perbankan, asal saja tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mnurut UU Perbankan Nomor 10
tahun 1998, bank bahkan dapat melakukan kegiatan lain dari yang telah
diperincikan oleh Pasal 6 nya, jika hal tersebut merupakan kelaziman dalam
dunia perbankan ( vide Pasal 6 huruf n ).
6.
Peraturan
Terkait Lainnya Sebagai Dasar Hukum
Dalam pemberian kredit bankseringkali
terkait dengan beberapa peraturan perundang-undangan, sebagai contoh karena
kredit pada hakekatnya merupakan suatu wujud perjanjian, maka akan terkait buku
ketiga KUH Perdata tentang Perikatan, demikian halnya dengan ketentuan mengenai
hipotik atau hak tanggungan yang diatur dalam UU Pokok Agraria UU No 5 tahun
1960, HIR tentang eksekusi hipotik, KUH Acara Perdata dan lain-lain. UU No 4
tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
C.
NISBAH PINJAMAN
Secara umum
para fuqaha mendefinisikan mudharabah sebagai penyerahan sejumlah modal
tertentu dari seorang sahib al mal (penyandang dana) kepada mudarib (pengusaha)
agar uang tersebut dapat dikelola dan jika ada keuntungan dibagi secara
bersama-sama berdasarkan kesepakatan dan jika terjadi kerugian maka ditanggung
uang modal itu oleh sahib al- mal dengan syarat-syarat tertentu.
Nisbah keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak
tidak diperkenankan mengambil seluruh
keuntungan tanpa membagi kepada pihak yang lain. Selain itu proporsi keuntungan
masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut
harus dari keuntungan.
Dalam kajian hukum muamallah, masalah akad (‘aqd) atau perjanjian menempati posisi sentral, karena ia merupakan cara paling penting
yang digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang berkenaan dengan
harta atau manfaat sesuatu secara sah.
Didalam akad
atau perjanjian terdapat pernyataan atas suatu keinginan positif dari salah
satu pihak yang terlibat dan diterima oleh pihak lainnya, yang menimbulkan
akibat hukum pada obyek perjanjian.
D.
ISLAM DAN KREDIT
Dalam hal ini,
para ulama telah berselisih pendapat semenjak dahulu hingga sekarang dan
menjadi tiga pendapat.
1.
Bahwa hal itu adalah batil secara mutlak, dan
ini adalah pendapat Ibnu Hazm
2.
Bahwa hal itu adalah tidak boleh kecuali
apabila dua harga itu dipisah (ditetapkan) pada salah satu harga saja. Misalnya
apabila hanya disebutkan harga kreditnya saja.
3.
Bahwa hal itu tidak boleh. Akan tetapi apabila
telah terjadi dan harga yang lebih rendah dibayarkan maka boleh.
Syaikh Al
Albani berkata : "Alasan dilarangnya ‘dua (harga) penjualan dalam satu
penjualan' disebabkan oleh ketidaktahuan harga, adalah alasan yang tertolak.
Karena hal itu semata-mata pendapat yang bertentangan dengan nash yang jelas di
dalam hadits Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud bahwa (penyebab larangan) itu adalah
riba. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain (yang menjadi pendapat ini
tertolak, -pent) ialah karena alasan mereka ini dibangun di atas pendapat
wajibnya ijab dan qabul dalam jual beli. Padahal (pendapat) ini tidak ada
dalilnya, baik melalui Kitab Allah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Bahkan di dalam (jual-beli) itu cukup (dengan) saling rela dan
senang hati. Maka selama ada rasa saling rela dan senang hati di dalam jual
beli, dan ada petunjuk kearah sana, berarti itu merupakan jual-beli yang
syar'i. Itulah yang dikenal oleh sebagian ulama dengan (istilah) jual beli
Al-Mu'aathaah [Yaitu akad jual beli yang terjadi tanpa ucapan atau perkataan
(ijab qabul) akan tetapi dengan perbuatan saling rela. Seperti pembeli
mengambil barang dagangan dan memberikan (uang) harganya kepada penjual ; atau
penjual memberikan barang dan pembeli memberikan (uang) harganya tanpa
berbicara dan tanpa isyarat, baik barang itu remeh atau berharga. (Lihat
"Al-Fihul Islami wa Adillatuhu IV/99 oleh DR Wahbah Az-Zuhaili)],
Asy-Syaukani berkata di dalam “As-Sail Al-Jarar (III/126)”
“Jual beli
al-mu’aathaah ini, yang dengannya terwujud suasana saling rela dan senang hati
adalah jual beli syar’i yang diijinkan oleh Allah, sedangkan menambahinya
(dengan syarat-syarat lain, pent) adalah termasuk mewajibkan apa yang tidak
diwajibkan oleh syara (agama)”.
E.
BANK PERKREDITAN
Bank
Perkreditan Rakyat ( BPR ) adalah salah satu jenis bank yang dikenal melayani
golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah. Dengan lokasi yang pada umumnya
dekat dengan tempat masyarakat yang membutuhkan. BPR sudah ada sejak jaman
sebelum kemerdekaan yang dikenal dengan sebutan Lumbung Desa, Bank Desa, Bank
Tani dan Bank Dagang Desa atau Bank Pasar. BPR merupakan lembaga perbankan
resmi yang diatur berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998.
Dalam
undang-undang tersebut secara jelas disebutkan bahwa ada dua jenis bank, yaitu
BANK UMUM dan BPR. Fungsi BPR tidak hanya sekedar menyalurkan kredit kepada
para pengusaha mikro, kecil dan menengah, tetapi juga menerima simpanan dari
masyarakat. Dalam penyaluran kredit kepada masyarakat menggunakan prinsip 3T,
yaitu Tepat Waktu, Tepat Jumlah, Tepat Sasaran, karena proses kreditnya yang
relatif cepat, persyaratan lebih sederhana
F.
JUAL ANGSUR
Penjualan
angsuran adalah penjualan yang dilakukan dengan perjanjian dimana pembayarannya
dilakukan secara bertahap ( berangsur – angsur ) oleh si pembeli dalam jangka
waktu yang ditentukan dan mempunyai ketentuan yaitu adanya pembayaran uang muka
(Down payment)
Jenis – jenis
Perjanjian Angsuran
Untuk
melindungi kepentingan si penjual atas kepentingan resiko atau tidak
ditepatinya kewajiban- kewajiban oleh pihak pembeli, maka jual beli secara
angsuran sering berdasarkan atas perjanjian.
Perjanjian
tersebut antara lain :
1.
Perjanjian penjualan bersyarat ( Conditional
Sales Contaract ), dimana barang-barang telah diserahkan, tetapi hak atas
barang-barang masih berada ditangan penjual sampai seluruh pembayarannya
pertama.
2.
Pada saat perjanjian ditandatangani dan
pembayaran pertama telah dilakukan hak milik dapat diserahkan kepada pembeli,
tetapi dengan menggadaikan atau menghipotik untuk bagian harga penjualan yang
belum dibayar kepada si penjual.
3.
Hak milik atas barang untuk sementara
diserahkan kepada suatu badan “trust” (Trustee) sampai pembayaran harga
penjualan dilunasi. Setelah pembayaran lunas oleh pembeli baru trustee
menyerahkan hak atas barang-barang itu kepada pembeli. Perjanjian semacam ini
dilakukan dengan membuat akte kepercayaan.
4.
Beli Sewa ( Lease-puchase), dimana barang yang
telah diserahkan kepada pembeli. Pembayaran angsuran dianggap sewa sampai harga
dalam kontrak telah dibayar lunas, baru sesudah itu hak milik berpindah kepada
pembeli.
0 komentar:
Posting Komentar