Selasa, 13 November 2012

mumet



Kau yang tiba-tiba datang hari ini, tanpa aba-aba apa pun dari angin yang berhembus dari selatan. Kau yang mengetuk pintu rumahku bersama angin musim panas yang juga baru tiba. Kau yang pernah mengisi sepotong bahagia dulu, dulu yang sudah susah payah aku bungkus jadi bekas harapan. Kau datang dengan sekeranjang yang kau bilang berisi setumpuk harapan baru. Pasti kau lupa bagaimana musim panas dulu itu kau mulai membakar harapanku, jadi debu abu-abu, dan tak peduli aku terserak-serak mengumpulkan debu-debu itu, membungkusnya dengan kelopak mawar hitam. Entah bagaimana bentuk hatimu saat itu. Tega. Menumpukkan harapan berbulan-bulan, membakarnya dalam beberapa hari saja. Kembali melemparku dalam hitungan logika, keluar dari harapan maya yang terus-terusan kau jejalkan. Kau lupa, Sayang? Harusnya musim panas ini mengingatkanmu, bagaimana aku susah payah membuat jembatan pemisah untuk rasa yang kau tinggalkan, bagaimana aku harus memilih jalan memutar untuk tidak melihat matamu, bagaimana aku menyusun kembali hatiku yang meluruh, hampir tak beda dengan debu musim panas. Kau lupa, Sayang? Besok kukirimkan album patah hati yang dulu kau bikinkan untukku. Kalau kau butuh untuk mengingat. Hatiku tak lagi butuh namamu masuk di sana. Agar kauingat, atau harusnya kau tak usah datang lagi! Musim hujan kita sudah selesai, dulu, dulu sekali… Kita tak kan pernah punya musim hujan lagi. Udara selalu panas, terik, tiap namamu kembali kudengar. Aku tidak benci, hanya tak mau membayangkan untuk membikin harapan lagi. Perih. Kau tahu, perih!

0 komentar:

Posting Komentar