BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu lembaga keuangan yang dapat
memberikan pinjaman pada masyarakat ialah Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian,
apabila masyarakat ingin mendapatkan pinjaman maka masyarakat harus memberikan
jaminan barang kepada perum pegadaian. Melihat
perkembangan ekonomi Islam maka perum pegadaianpun mengeluarkan produk berbasis
syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk
berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam
berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan
sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh
imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah dikenal dengan istilah
“rahn”.
Gadai yang kita
kenal selama ini di Indonesia identik dengan Perum Pegadaian, dengan motonya
“Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah” sebagai satu-satunya perusahaan yang
mengusahakannya. Dulu, pegadaian sering disamakan dengan kesusahan dan
berhubungan dengan masyarakat golongan ekonomi lemah, sehingga kebanyakan orang
malu untuk datang kepegadaian. Sekarang kondisinya sudah lain, pegadaian tumbuh
menjadi sarana untuk mendapat dana bagi semua golongan masyarakat, dari petani
sampai pengusaha berdasi.
Gadai secara
umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa
perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape,
video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin
jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya
yang dianggap bernilai.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Hakekat / pengertian rahn ?
2.
Bagaimana
sifat rahn ?
3.
Apa yang
mendasari diadakannya rahn ?
4.
Apa
rukun dan syarat gadai?
5.
Bagaimana
cara mengambil manfaat gadai dan implementasi pada bank syari’ah ?
BAB II
PEMBAHASAN
PINJAMAN DENGAN JAMINAN (RAHN)
A.
Pengertian
Menurut
bahasa, gadai (al-rahn) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan
dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah tengkurung atau terjerat.
Menurut
istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1. Akad yang objeknya menahan harga terhadap
sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
2. Menjadikan harta sebagai jaminan utang.
3. Gadai ialah menjadikan harta benda sebagai
suatu jaminan atas utang.
4. Gadai adalah suatu barang yang dijadikan
peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang-piutang.
5. Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai
menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan uang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh
atau sebagian utang dapat diterima.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam
mendefinisikan rahn :
1. Menurut ulama Syafi’iyah:
Menjadikan
suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika
berhalangan dalam membayar utang.
2. Menurut ulama Hanabilah :
Harta
yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang
berutang berhalangan (tidak mampu membayar) utangnya kepada pemberi pinjaman.
B.
Sifat
Rahn
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad
yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima
gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada
rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan.
Rahn
juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila
sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam,
titipan dan qirad.
C.
Dasar Hukum Rahn
Sebagai
referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan (brog) adalah firman Alloh Swt.
وَإِنْ
كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
( oleh berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Alloh Tuhanny ( Al-Baqarah 283).
Diriwatkan
oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:
عَنْ
أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم –
دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا ، ى
“ Rasullah Saw, telah
meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau
menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk
keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dari hadist di atas
dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada
jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi yang memberi piutang.
Para
ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan
itu termuat dalam DNS Nomor:
25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag
berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan
berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan
al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam
keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah
di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.
D.
Rukun
dan Syarat Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda
memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu:
1.
Akad dan
ijab Kabul
2.
Aqid,
yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin).
Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan
harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah
orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak
disyaratkan harus baligh.
3.
Barang
yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah
keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul
bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang
gadai”
Menurut
ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
a. Dapat diperjual belikan
b. Bermanfaat
c. Jelas
d. Milik rahin
e. Bisa
diserahkan
f. Tidak bersatu dengan harta lain
g. Dipegang oleh rahin
h. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
4.
Ada
utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru
dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu:
1.
Orangnya
sudah dewasa.
2.
Berpikiran
sehat.
3.
Barang
yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian
itu dapat diserahkan/diserahkan kepada
penggadai.
4.
Barang
atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan
benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau
surat rumah).
E.
Pengambilan
Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang
digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqoha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak
boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin
mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik
manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersbada:
“Setiap orang yang menarik manfaat adalah
termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak,
al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat
dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima
gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan
biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada
padanya. Jika barang gadai butuh biaya perawatan,
misalnya: hewan perahan, hewan tunggangan dan budak ( sebagaimana dalam
as-sunah) maka:
·
Jika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik
uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
·
Jika dibiayai oleh pemilik
uang maka dia boleh menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah
dia keluarkan, tidak boleh lebih.
Rasul
bersabda:
الظَّهْرُ
يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“
Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan,
binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila
digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di
atas ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang
memgang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban tambahan? Pemegang
barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah
hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan.
Menurut hemat penulis, barang jaminan seprti
sawah atau ladang hendaknya diolah supaya tidak mubadir mengenai
hasilnya dapat dibagi antara pemilik dan penggadai atas kesepakatan bersama.
Ada hal yang sangat penting yang perlu diingat bahwa hasilnya tidak boleh menjadi
sepenuhnya pegadai seperti yang berlaku dalam masyarakat dan praktek semacam
inilah yang diupayakan supaya lurus dan sejalan dengan ajaran islam.
F.
Risiko
Kerusakan Marhun
Bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin,
maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu
karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya murtahin
bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaiannya itu atau gudang tidak
dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Murtahin diwajibkan
memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, bila ada cacat atau
kerusakan apalagi hilang, mennjadi tanggung jawab murtahin.
G.
Penyelasaian
Gadai
Untuk
menjaga agar tidak ada pihak yang dirugikan, tidak boleh diadakan
syarat-syarat, misalnya ketika akad gadai diucapkan: “ Apabila rahin tidak
mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun
menjadi milik murtahin sebagai pembayaran hutang”, sebab ada yang memungkinkan
pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar hutang harga marhun
akan lebih kecil dari pada utang rahin yang harus dibayar yang mengakibatkan
ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu
pembayaran yang ditentukan akan lebih jumlahnya daripada utang yang harus
dibayar, yang akibatnya akan merugikan rahin.
Apabila
pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya,
hak murtahin ialah menjual marhun,
pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum
berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanya
sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar
dari jumlah utang, sisanya dikembalikan pada rahin dan sebaliknya, apabila
harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung
pembayaran kekurangannya.
H.
Riba dan
Gadai
Perjanjian
gadai pada dasarnya
adalah perjanjian
utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Riba akan terjadi dalam
gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan
kepada murtahin ketika membyar utangnya atau ketika akad gadai ditentukan
syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
Bila
rahin tidak mampu memabayar
utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, kemudian rahin menjual marhun
dengan tidak memberikan kelebihan
harga mahun kepada
rahin.
- Implementasi
Operasi Pegadaian Syariah
Implementasi operasi
Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian Konvensional. Seperti halnya Pegadaian Konvensional, Pegadaian
Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur
untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana.
Di samping beberapa
kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik
transaksi dan pendanaan. Penggadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda
dengan Pegadaian Konvensional
Dari landasan Syariah
tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai
berikut: Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian
Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh
Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya
biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan
dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian
mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua
belah pihak.
Pegadaian Syariah akan
memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan
berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga
disini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’
yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian.
Untuk dapat memperoleh
layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta
geraknya (emas, berlian, kendaraan,
dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian
staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan
dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan
plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan
berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum
Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari
nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan
ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan :
1.
Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat
bulan .
2.
Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh rupiah )
dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada
saat melunasi pinjaman.
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya
ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :
·
melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman
kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan.
·
mengangsur uang pinjaman dengan membayar
terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi.
·
atau hanya membayar jasa simpannya saja
terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi
pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak
mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian
melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai
penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan
yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk
mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak
mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan
kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
Aspek syariah tidak hanya
menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi
nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba.
Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian
disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak
ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan
kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan
melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal
kerja, jadi sesuai dengan motto pegadaian adalah mengatasi masalah tanta
masalah bisa di buktikan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut kelompok kami rahn adalah
“Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar
ketika berhalangan dalam membayar utang”, Pengambilan manfaat pada
barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan ditekankan pada biaya atau
tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai
seperti diatas punya kewajiban tambahan, pemegang barang gadai berkewajiban
memberikan makanan bila barang gadaian itu berupa hewan dan harus memberikan
bensin apabila barang tersebut berupa kendaraan.
Apabila pada
waktu pembayaran telah ditentukan rahin belum membayar hutangnya hak murtahin
adalah menjual marhun, pembeline bisa murtahin sendiri atau orang lain tetapi
dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya
saja, dengan akibat apabila harga penjualan marhum lebih besar dari jumlah
utang, sisanya dikembalikan kepada rahin, dan sebliknya harga penjualan marhun
kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Bisnis dan
Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan
Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
http://stephanie-insideof.blogspot.com/2012/02/aplikasi-rahn-gadai-dalam-lembaga.html.
http://kanzulaminuddin.blogspot.com/2010/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
0 komentar:
Posting Komentar