Minggu, 04 November 2012

PINJAMAN DENGAN JAMINAN (RAHN)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman pada masyarakat ialah Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, apabila masyarakat ingin mendapatkan pinjaman maka masyarakat harus memberikan jaminan barang kepada perum pegadaian. Melihat perkembangan ekonomi Islam maka perum pegadaianpun mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah dikenal dengan istilah “rahn”.[1]
Gadai yang kita kenal selama ini di Indonesia identik dengan Perum Pegadaian, dengan motonya “Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah” sebagai satu-satunya perusahaan yang mengusahakannya. Dulu, pegadaian sering disamakan dengan kesusahan dan berhubungan dengan masyarakat golongan ekonomi lemah, sehingga kebanyakan orang malu untuk datang kepegadaian. Sekarang kondisinya sudah lain, pegadaian tumbuh menjadi sarana untuk mendapat dana bagi semua golongan masyarakat, dari petani sampai pengusaha berdasi.
Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape, video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai.
B.     Rumusan Masalah
                                                                                  
1.      Apa Hakekat / pengertian rahn ?
2.      Bagaimana sifat rahn ?
3.      Apa yang mendasari diadakannya rahn ?
4.      Apa rukun dan syarat gadai?
5.      Bagaimana cara mengambil manfaat gadai dan implementasi pada bank syari’ah ?
BAB II
PEMBAHASAN
PINJAMAN DENGAN JAMINAN (RAHN)
A.    Pengertian
Menurut bahasa, gadai (al-rahn) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah tengkurung atau terjerat.[2]
            Menurut istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1.      Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
2.      Menjadikan harta sebagai jaminan utang.
3.      Gadai ialah menjadikan harta benda sebagai suatu jaminan atas utang.
4.      Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang-piutang.
5.      Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan uang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.

Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :[3]
1.      Menurut ulama Syafi’iyah:
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang.
2.      Menurut ulama Hanabilah :
Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu membayar) utangnya kepada pemberi pinjaman.

B.     Sifat Rahn
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan.
      Rahn juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.[4]

C.     Dasar  Hukum Rahn
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan  (brog) adalah firman Alloh Swt.[5]

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Alloh Tuhanny ( Al-Baqarah 283).

Diriwatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا ، ى
 “ Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
                        Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi yang memberi  piutang.
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.

D.    Rukun dan Syarat Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu:
1.         Akad dan ijab Kabul
2.         Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.[6]
3.         Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”
Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:[7]
a.       Dapat diperjual belikan
b.      Bermanfaat
c.       Jelas
d.      Milik rahin
e.       Bisa diserahkan
f.       Tidak bersatu dengan harta lain
g.      Dipegang oleh rahin
h.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
4.         Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.

Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu:[8]
1.         Orangnya sudah dewasa.
2.         Berpikiran sehat.
3.         Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu  dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.
4.         Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah).

E.     Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqoha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersbada:
“Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanya. Jika barang gadai butuh biaya perawatan, misalnya: hewan perahan, hewan tunggangan dan budak ( sebagaimana dalam as-sunah) maka:
·         Jika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
·         Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.[9]
Rasul bersabda:

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

“ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memgang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban tambahan? Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan.
Menurut hemat penulis, barang jaminan seprti sawah atau ladang hendaknya diolah supaya tidak mubadir mengenai hasilnya dapat dibagi antara pemilik dan penggadai atas kesepakatan bersama. Ada hal yang sangat penting yang perlu diingat bahwa hasilnya tidak boleh menjadi sepenuhnya pegadai seperti yang berlaku dalam masyarakat dan praktek semacam inilah yang diupayakan supaya lurus dan sejalan dengan ajaran islam.[10]

F.      Risiko Kerusakan Marhun
Bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaiannya itu atau gudang tidak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, bila ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, mennjadi tanggung jawab murtahin.

G.    Penyelasaian Gadai
Untuk menjaga agar tidak ada pihak yang dirugikan, tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalnya ketika akad gadai diucapkan: “ Apabila rahin tidak mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran hutang”, sebab ada yang memungkinkan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar hutang harga marhun akan lebih kecil dari pada utang rahin yang harus dibayar yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang ditentukan akan lebih jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan rahin.
            Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak  murtahin ialah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanya sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan pada rahin dan sebaliknya, apabila harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.

H.    Riba dan Gadai
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membyar utangnya atau ketika akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
Bila rahin tidak mampu memabayar utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, kemudian rahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga mahun kepada rahin.

  1. Implementasi Operasi Pegadaian Syariah
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian Konvensional. Seperti halnya Pegadaian Konvensional, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi dan pendanaan. Penggadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian Konvensional
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut: Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga disini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian. 
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan :
1.   Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan .
2.  Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh rupiah ) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :
·           melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan.
·           mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi.
·           atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS. 
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja, jadi sesuai dengan motto pegadaian adalah mengatasi masalah tanta masalah bisa di buktikan.[11]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
     Menurut kelompok kami rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”, Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan, pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu berupa hewan dan harus memberikan bensin apabila barang tersebut berupa kendaraan.
Apabila pada waktu pembayaran telah ditentukan rahin belum membayar hutangnya hak murtahin adalah menjual marhun, pembeline bisa murtahin sendiri atau orang lain tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya saja, dengan akibat apabila harga penjualan marhum lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin, dan sebliknya harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya. 



DAFTAR PUSTAKA

Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, hal105-106
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, hal 159-160
 Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
http://stephanie-insideof.blogspot.com/2012/02/aplikasi-rahn-gadai-dalam-lembaga.html.



[1] http://kanzulaminuddin.blogspot.com/2010/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

[2] Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, hal105-106
[3] Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, hal 159-160
[4] Ibid 2, hal 160
[5] Ali Hasan, Berbagai Transaksi dan Fiqih( Fiqih Muamalat) PT Raja Gravindo Jakarta, Hal 254-255
[6] Ibid 2 hal 162
[7] Ibid 2 hal164
[8] Ibid 4 hal 256
[10] Ibid 4 hal258
[11] http://stephanie-insideof.blogspot.com/2012/02/aplikasi-rahn-gadai-dalam-lembaga.html

0 komentar:

Posting Komentar